PERESMIAN BLOGGER ALEXANDER UMBU GODA

Alexander umbu goda secara resmi hari ini tanggal 05 october 2013 telah memutuskan untuk menetapkan sebuah lencana dalam blog ini yang saya beri nama Peresmian Bloger Alexander

Jumat, 31 Januari 2014

sosial budaya sumba ..

Home > Sosial Budaya > Perkawinan
PERKAWINANPERKAWINAN merupakan salah satu tahapan penting dalam siklus hidup seseorang. Melalui perkawinan masa remaja ditinggalkan, kedupan dewasa dengan segala hak dan tanggungjawab dimulai, dan regenerasi dilanjutkan. Dalam masyarakat komunal perkawinan bukan sekedar pembentukan keluarga baru tapi merupakan penyatuan keluarga besar. Dan di Sumba, setidaknya di masa lalu sewaktu persaingan dan perang antar suku kerap terjadi, perkawinan menjadi kian penting karena itu berati aliansi.
Perkawinan yang terjadi dalam masyarakat Sumba Barat dapat dikategorikan sebagai perkawinan eksogami yaitu perkawinan di luar suku, dimana lelaki anggota suku A menikah dengan perempuan anggota suku B tapi tidak boleh sebaliknya. di Sumba Barat klan penerima gadis (A) disebut doma sedangkan klan pemberi gadis (B) disebut loka. Seperti telah disinggung pada bab sebelumnya, loka adalah panggilan yang ditujukan kepada saudara laki-laki ibu atau secara umum seluruh kaum laki-laki di kabisu ibu. Karena secara tradisional mereka adalah pemberi gadis untuk dinikahi oleh laki-laki dari klan si ayah, maka loka juga diartikan sebagai kabisu pemberi gadis. Sementara klan si ayah yang adalah penerima gadis disebut doma. Singkatnya, dalam konteks pernikahan, loka secara harafiah bisa diartikan sebagai anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, sedangkan doma adalah anak laki-laki dari saudara perempuan ayah, jadi yang terjadi sesungguhnya adalah apa yang disebut Webb Keane (1997) sebagai matrilateral crosscausin marriages.
Konsep perkawinan semacam ini (dengan adanya klan penerima dan pemberi gadis) mengharuskan paling sedikit keterlibatan tiga kabisu. Misalnya kabisu A, B dan C. kabisu A sebagai pemberi gadis untuk kabisu B, Kabisu B sebagai pemberi gadis untuk kabisu C dan kabisu C sebagai pemberi gadis untuk kabisu A. Karena kabisu A adalah pemberi gadis untuk kabisu B maka kaum lelaki kabisu A tidak diperbolehkan menikahi wanita dari kabisu B, dengan kata lain tidak boleh terjadi salin bertukar peran diantara kabisu pemberi dan penerima gadis. Pernikahan dengan sesama anggota suku juga dilarang keras, bahkan dianggap sebagai perilaku incent yang bisa mendatangkan malapetaka, yang hanya bisa dipulihkan melalui upacara pemujaan. Pelanggaran-pelanggaran yang lain misalnya perselingkuhan atau hubungan luar nikah (dengan anggota kabisu yang masuk kategori boleh menikah) biasanya diselesaikan melalui pembayaran denda yang disebut kanyala.
Karena dianggap sebagai penerus garis darah yang hanya mengalir lewat perempuan, kedudukan klan pemberi gadis (loka) selalu lebih tinggi dari pihak penerima gadis (doma). Kedudukan ini membawa banyak keuntungan antara lain bisa menentukan besarnya mas kawin (belis) yang harus dibayar pihak laki-laki. Dalam adat Sumba, belis bukan melulu urusan pihak laki-laki, karena pihak perempuan juga harus menyediakan balasannya. Belis yang diberikan pihak laki-laki sering diasosiasikan dengan bendabenda maskulin seperti kerbau dan kuda (hewan yang pemeliharaannya menjadi urusan kaum lelaki), parang dan tombak (senjata perang), serta mamoli (perhiasan yang sering dipakai sebagai anting-anting). Sekilas mamoli tidak bersifat maskulin, tetapi perhiasan ini adalah gambaran rahim atau simbol kemampuan reproduksi kaum wanita, dan dalam perkawinan diberikan sebagai simbol pengganti wanita yang akan dibawa pergi. Sementara itu, balasan yang diberikan pihak perempuan diasosiasikan dengan benda-benda feminin seperti babi (dipelihara kaum wanita) dan kain tenun (dibuat kaum wanita).
Jumlah belis tergantung kesepakatan dan status sosial seseorang, terutama pengantin wanitanya. Untuk kalangan bangsawan biasanya sekitar 30 puluhan ekor, rakyat biasa antara 5 - 15 ekor, sedangkan belis golongan budak dibayar oleh tuan mereka. Dari persepsi orang luar, pernikahan semacam ini terkesan semacam transaksi bisnis dengan perempuan sebagai obyek. Tetapi sangat berkebalikan dengan anggapan itu, orang Sumba sendiri melihat belis sebagai penghargaan terhadap wanita. Wanita selalu dianggap aset beraharga sebuah rumah tangga. Mereka adalah pekerja yang tekun, lebih dari itu mereka adalah mesin reproduksi yang memungkinkan sebuah generasi berlanjut. Karena itu niat baik seorang ayah melepas anak perempuannya harus diapresiasi keluarga laki-laki dengan memberikan sejumlah hadiah (belis). Si Ayah sendiri perlu menunjukan betapa berharga nilai anaknya dengan sejumlah hadiah balasan yang akan mengirirngi kepindahan si anak kelak. Tanpa itu anak perempuannya akan dianggap remeh oleh keluarga suaminya. Jadi jika ini transaksi bisnis, diamana letak untungnya? Begitu orang Sumba berargumen.
Pembayaran belis pun jarang dilakukan sekaligus. Sebagian diberikan saat pindah rumah, sebagian lagi diberikan sedikit-sedikit setiap kali pihak keluarga istri mengadakan pesta dan lain sebagainya. Mengingat mahalnya harga hewan, jarang pula ada satu keluarga yang bisa memenuhi belis berjumlah besar dengan kemampuannya sendiri. Lebih sering hewan-hewan ini diperoleh sebagai sumbangan dari keluarga-keluarga lain yang merupakan anggota kabisu keluarga bersangkutan. Tetapi tidak secara gratis, karena pihak penerima harus membayar kembali saat keluarga penyumbang membutuhkan di lain waktu.
Di Sumba Barat sebuah perkawinan umumnya dilakukan melalui tahapan berikut:
  1. Ngidi Pamama: semacam acara lamaran dimana pihak laki-laki datang ke kediaman pihak perempuan untuk menyatakan maksud mereka dengan membawa sirih-pinang dan satu ekor kuda. Jika maksud diterima, pihak perempuan balas memberikan sepasang kain tenun dan seekor babi (yang disembelih saat itu juga) sebagai tanda persetujuan. Pada kesempatan ini kedua belah pihak mulai merencanakan tahap negosiasi berikutnya dan menetapkan tanggal pertemuan selanjutnya.
  2. Weri Kawedo: Pada tahap ini pihak laki-laki datang ke kediaman pihak perempuan dengan membawa setidaknya 1 sampai 5 ekor kerbau dan satu ekor kuda jantan. Maksud kedatangan mereka adalah untuk melakukan pembicaraan penting seputar belis yang harus dibayar. Karena seluruh urusan ini dilakukan dalam bahasa-bahasa adat yang penuh kiasan, dimana keliru bicara atau keliru menerjemahkan maksud pihak lain bisa sangat merugikan pihak sendiri, maka diperlukan seseorang dengan keahlian dan kharisma khusus untuk bertindak sebagai juru bicara atau negosiator bagi masing-masing pihak. Para perantara ini disebut wunang, dan mereka lah yang sesungguhnya berhadap-hadapan melakukan pembicaraan adat lalu bolak-balik berkonsultasi dengan pihak keluarga. Pihak keluarga perempuan berkumpul di mbale katounga sedangkan keluarga laki-laki duduk di beranda depan bersama para wunang. Permintaan akan belis dinyatakan secara simbolis lewat kain tenun yang diletakkan di atas tempat sirih pinang lalu disajikan di depan wunang. selembar kain sama dengan 10 ekor hewan, jadi dua lembar berarti 20 ekor dan seterusnya. Proses negosiasi bisa memakan waktu berjam-jam, bahkan ada yang sampai tengah malam, dimana pengaruh keluarga besar sering mempersulit pengambilan keputusan. Jika kesepakatan dicapai, pihak wanita memberikan satu ekor babi babi yang dipotong saat itu juga lalu dagingnya dibagikan kepada seluruh peserta sebagai tanda kesepakatan.
  3. Dutu Mawinne: secara harafiah berarti mengiring perempuan, atau lebih tepat menggiring mempelai wanita untuk bepindah kekediaman suaminya. Dutu mawine bisa dilaksanakan bersamaan dengan weri kawedo jika pada saat itu belis dibayar lunas, tapi yang lebih sering selepas beberapa hari atau beberapa minggu. Pada kesempatan ini rombongan laki-laki membawa sejumlah belis yang telah disepakati. Kerbau, kuda, pedang, tombak serta mamoli emas, yang dibalas pihak perempuan dengan babi dan kain tenun (jumlahnya disesuaikan dengan pemberian pihak laki-laki). Mamoli emas yang mereka bawa akan diserahkan langsung oleh ibu mempelai laki-laki kepada ibu mempelai wanita. Mamoli ini disitilahkan sebagai watu mata (biji mata) yang melambangkan penghargaan terhadap usaha keras si ibu dalam membesarkan anak perempuannya yang sebentar lagi akan dibawa pergi. Selanjutnya, ayah si gadis memberikan sepasang kain tenun kepada pengantin laki-laki sebagai simbol ia telah diterima sebagai menantu, yang harus dibalas sang menantu baru dengan satu batang tombak.
Pengantin wanita dibawa ke kediaman suaminya dengan sejumlah besar pengiring. Pada pernikahan bangsawan, terutama di Sumba Timur zaman dulu, pengantin wanita dinaikkan ke atas kuda dan harus merapalkan syair tentang silsilah nenek moyangnya di sepanjang perjalanan. Namun karena enggan atau alasan lain, penganti wanita lebih sering berjalan kaki bersama rombongan pengiring sementara tugas merapal syair yang disebut mamohang dialihkan pada hambanya. Hamba inilah yang didandani dan dinaikkan ke atas kuda. Pengantin wanita sendiri didandani dengan sejumlah perhisan terutama gading yang dalam kebudayaan Sumba memiliki nilai tinggi (demikian pula wanita yang memakainya). Perhiasan-perhiasan ini tidak termasuk belis balasan seperti babi dan kain tenun yang akan jatuh ke tangan keluarga besar suami, tapi merupakan barang bawaan pengantin wanita sendiri (pa pangidi) yang menjadi hak milik pribadinya
Setelah tiba di kediaman sang suami, pengantin wanita harus menjalani ritual aila na yee yaitu meletakkan kain tenun di tiang utama rumah adat (di sebagian wilayah, kain tenun diletakkan di atas batu kubur). Ritual ini dimaksudkan sebagai pemberitahuan kepada marapu pendiri rumah bahwa si istri baru kini telah menjadi bagian rumah adat itu dan resmi berpindah ke kabisu suaminya. Kain tenun juga diserahkan kepada mertua dan sejumlah kerabat tertentu sebagai tanda penghormatan dan penerimaan.
Ada juga cara-cara perkawinan yang tidak melalui pakem normal tapi diterima sebagai adat kebiasaan setempat, antara lain:
  1. Palai ngiddi (bawa lari): pada prinsipnya merupakan kawin lari atau kawin paksa, di mana si pemuda, baik sendiri atau bersama sejumlah teman dan keluarganya membawa lari seorang wanita diluar kehendak wanita tersebut. Palai Iddi sering juga disebut Yappa Marada (tangkap di padang) karena pada zaman dahulu para pemuda sering menangkap wanita yang diincarnya di padang, saat wanita tersebut sedang sendirian disana mencari air atau kayu bakar. Perkawinan dengan cara seperti ini sangat jarang terjadi karena belis yang dituntut keluarga wanita akan sangat mahal.

  2. Palai ngidi mawinne: pada prinsipnya merupakan kawin lari juga tapi tanpa paksaan. kedua sejoli saling mencintai namun karena sejumlah alasan, mungkin tantangan dari pihak keluarga, si gadis akhirnya diam-diam pindah ke kediaman si pemuda. Yang sering terjadi, begitu si gadis berada di rumah mereka, keluarga pihak laki-laki segera mengirim utusan ke kelurga si wanita untuk mengumumkan keberadaan gadis tersebut. Hal ini penting agar tak disangka melarikan gadis yang bisa berbuntut belis besar. Pemberitahuan ini diiringi pemberian satu ekor kerbau atau kuda, yang jika situasinya bisa diterima, akan di balas pihak perempuan dengan kain tenun. Belisnya sendiri tergolong rendah Pihak perempuan tidak bisa menuntut banyak karena anak mereka sudah terlanjur ada di kediaman pihak laki-laki.

  3. Douna Uma Loka: Secara harafiah berarti masuk ke keluarga pihak istri dan pengertiannya persis seperti itu. Di banyak tempat Douna Uma Loka dikenal dengan nama kawin masuk dan biasanya terjadi karena dua alasan. Pertama: karena si mertua tidak memiliki pewaris laki-laki. Maka si menantu dianggap sebagai anak, diminta berpindah ke kabisu istrinya dan anak-anak yang lahir kelak menjadi bagian dari kabisu pihak perempuan. si memantu juga dibebaskan dari kewajiban membayar belis (walau sebetulnya mampu membayarnya), namun warisan keluarga tidak jatuh ketangannya, tapi langsung diwariskan kepada anak laki-lakinya kelak. Kedua: karena si menantu tidak sanggup membayar belis, dengan demikian tidak diperkenankan membawa pergi istrinya. Ia tinggal di lingkungan keluarga sang istri dan mendapat kedudukan yang rendah. Anak-anak yang lahir masuk kabisu pihak wanita dan menjadi hak mereka. Perkawinan jenis ini jarang terjadi kecuali dalam keadaan tertentu saja.

  4. Pamawo Mawinne Balu: lazim di Indonesiakan dengan istilah Perkawinan Silih Tikar yang berarti tukar tikar. pada prinsipnya merupakan perkawinan seorang janda yang suaminya telah meninggal dengan iparnya sendiri. Karena baik si janda maupun si ipar telah berada dalam satu ikatan keluarga maka perkawinan mereka bisa diibaratkan semacam perkawinan lanjutan sehingga tidak perlu membayar belis lagi. Perkawinan dilakukan melalui upacara parengini lii lora (upacara syukuran) yang bertujuan memberitahu arwah almarhum bahwa sejak hari itu istri dan anak-anaknya diambil alih oleh saudaranya untuk dipelihara dan dibesarkan, dengan syarat jika meninggal kelak jenazah si istri akan dikubur dalam satu kuburan bersama suaminya yang pertama. Dengan adanya perkawinan silih tikar ini tidak berarti si janda harus selalu menikah dengan iparnya, boleh saja ia menikahi pria lain, asalkan pria tersebut membayar belis kepada keluarga mendiang suminya sebesar belis yang dulu pernah mereka bayar sewaktu ia menikah dengan suami pertama.

  5. Kawin Gantung: perjodohan yang dilakukan sejak anak-anak masih bayi atau bahkan dalam kandungan. Perjodohan semacam ini hanya terjadi antar keluarga dekat, dimana komitmen keduanya dinyatakan melalui ritual adat yang biasanya bersamaan dengan upacara cukur rambut. Jika setelah dewasa tidak muncul masalah, perjodohan dapat dilanjutkan ke jenjang perkawinan melalui tahap-tahap seperti biasa

Tidak ada komentar: