PERESMIAN BLOGGER ALEXANDER UMBU GODA

Alexander umbu goda secara resmi hari ini tanggal 05 october 2013 telah memutuskan untuk menetapkan sebuah lencana dalam blog ini yang saya beri nama Peresmian Bloger Alexander

Rabu, 27 Agustus 2014

Penerapan dan Pencapaian Desentralisasi di Indonesia

C.        Penerapan dan Pencapaian Desentralisasi di Indonesia
C.1      Sejarah dan Latar Belakang
C.1.1   Masa Sebelum Kemerdekaan

            Pada tahun 1903 Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Desentralisatie wet yang merupakan dasar hukum pertama berkaitan dengan desentralisasi di Indonesia. Saat itulah Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Undang-undang ini hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja.
            Sebelum Tahun 1903, seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone (Kausar, 2008).
            Perbedaan sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU Tahun 1903 terletak pada eksistensi Dewan Daerah. Sebelum itu,  tidak terdapat sama sekali otonomi pemerintahan daerah. Semua unit pemerintah bersifat administratif atas dasar prinsip dekonsentrasi. Setelah UU Tahun 1903 diterbitkan, didirikanlah Dewan Daerah pada unit-unit pemerintahan tertentu, di mana mereka diberikan kewenangan menggali pendapatan daerah guna membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh setempat, namun Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat  Pemerintah Pusat (Kausar, 2008).
            Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada pejabat-pejabat Belanda yang bekerja di Indonesia, dilakukan tahun 1922 dan kemudian diteruskan oleh Tentara Pendudukan Jepang pada saat Perang Dunia II  (Hardjosoekarto, 2008).
C.1.2   Masa Sebelum Reformasi 
            Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,diterbitkan pada 23 Nopember 1945, merupakan undang-undang pertama yang mengatur  mengenai pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada masa ini, otonomi diberikan kepada daerah adalah otonomi yang lebih luas dari jaman penjajahan.
            Sistem pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang ini adalah dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggota diangkat oleh Pemerintah Pusat. Untuk menjalankan roda pemerintahan daerah, Komite memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin Kepala Daerah.Kepala daerah menjalankan dua fungsi yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena itu kendatipun kehendak desentralisasi cukup nyata, pelaksanaan dekonsentrasi sangat dominan (Kausar, 2008). Namun tidak tersedianya penjelasan dari undang-undang ini menimbulkan kesimpangsiuran dalam penafsirannya. Untuk itu, Kementeraian Dalam Negeri menyiapkan penjelasan tertulis.
            Selanjutnya, dilakukan revisi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, yag diterbitkan pada 10 Juli 1948, yang menekankan otonomi sebanyak-banyaknya[1].  Selain itu, hal lainnya yang tercantum dalam undang-undang ini bahwa hanya dikenal satu bentuk satuan pemerintahan tingkat daerah yaitu pemerintahan daerah otonom, titik berat otonomi pada desa, susunan pemerintahan daerah menjadi hanya 3 tingkatan (dari sebelumnya 5), yaitu propinsi, kabupaten/kotamadya, dan desa/kota kecil (Tamin, 2012). Walaupun demikian, undang-undang ini lebih menekankan praktek demokrasi parlementer sesuai dengan sistem pemerintahan saat itu, dan kontrol pemerintah pusat kepada daerah masih sangat kuat.  (Hardjosoekarto, 2008).
            Terjadinya perubahan ketatanegaraan menjadi Negara Kesatuan Repubik Indonesia dibawah UUD Sementara 1950, melahirkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, yang menekankan sistem otonomi riil yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan nyata dari daerah. Namun, Kepala Daerah sama sekali tidak bertanggung jawab kepada Pemerintahan Pusat. Karena itu terjadi dualisme kepemimpinan, yaitu kepala daerah disatu sisi, dan pejabat pusat yang ditempatkan di daerah di sisi lain. Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1957 tidak berjalan lancar, bahkan mendapat tantangan kuat dari berbagai pihak.
            Tidak lama kemudian, negara kembali ke dasar ketatanegaraan UUD 1945,  yang ditindaklanjuti dengan penetapan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 pada 16 Nopember 1959, yang menekankan desentralisasi beralih kepada kontrol pemerintahan pusat yang kuat terhadap pemerintahan daerah (Hardjosoekarto, 2008). Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat (Kausar, 2008).
            Penpres ini pun kemudian dianggap tidak sesuai Pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki pengaturan melalui undang-undang. Selanjutnya ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. Sekali lagi arus balik terjadi dengan dikeluarkannya UU 18/1965. Keadaan politik waktu itu menunjukkan bahwa partai-partai mendapatkan kembali kekuasaan setelah masa sulit pada tahun 1950-an. Berdasarkan UU 18/1965, para eksekutif daerah diperbolehkan menjadi anggota partai. Berdasarkan ketentuan ini tumbuh loyalitas ganda Kepala Daerah yang tidak saja kepada Pemerintah Pusat tetapi juga kepada partai. Pada undang-undang ini lah diperkenalkan istilah propinsi, kabupaten dan kecamatan.
            Pada masa ini terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan tuntutan pendirian daerah otonomi tingkat III yang berbasis pada Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan Parpol untuk mendapatkan dukungan politis dari grass-roots (Kausar, 2008).
            Namun kemudian undang-undang ini direvisi karena dianggap memberi otonomi seluas-luasnya, yang seharusnya berupa otonomi nyata dan bertanggungjawab. Hal inilah yang mendasari lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, yang juga mengatur pemerintahan daerah berdasar dekonsentrasi, selain memberi titik berat otonomi daerah pada kabupaten/kotamadya. Namun demikian, unsur sentralisasi lebih menonjol dari unsur desentralisasi (Tamin, 2012).
            Ada tiga prinsip dasar yang dianut  oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah). DPRD mempunyai kewenangan melakukan pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan akhir ada di tangan Pusat. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut pada satu sisi telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain, kondisi telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan otonominya, seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan, kelembagaan, personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah (Kausar, 2008). Undang-Undang ini lah yang paling lama berlakunya sampai sebelum masa reformasi
            Sementara itu, dibidang Perimbangan Keuangan sejak tahun 1956 telah dikeluarkan UU Nomor 23 Tahun 1956. Tetapi UU ini tidak dapat diberlakukan dengan baik oleh karena beberapa sebab, selain sebab-sebab teknikal juga sebab-sebab politis (Hardjosoekarto, 2008).
C.1.3  Pasca Reformasi
            Dimulainya otonomi daerah pada era reformasi di Indonesia ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang secara resmi dicanangkan per 1 Januari 2001. Sebagian ahli menyebut tahap ini sebagai fase pertama.
            Memasuki era reformasi, yang ditandai dengan kuatnya desakan perubahan secara signifikan terhadap hubungan pusat dan daerah, bisa dipastikan bahwa UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, menurut Pratikno (1999), digunakan untuk memuat dua misi utama, yaitu pertama, memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi di tingkat daerah. Ini diwujudkan dengan ‘desentralisasi politik’ dari pusat kepada daerah dan memberikan kesempatan dan kepuasan politik kepada masyarakat daerah untuk menikmati simbol utama demokrasi lokal (misalnya pemilihan Kepala Daerah). Kemudian, kedua, memuaskan daerah-daerah kaya sumber daya alam yang “memberontak” dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati sumber daya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
            Secara umum terdapat perbedaan fundamental dengan Undang-Undang sebelumnya diantaranya, yaitu (i) dipisahkannya Kepala Daerah dengan DPRD; (ii) otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten dan daerah kota; (iii) daerah propinsi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administrasi yang melaksanakan kewenangan pusat. Daerah propinsi bukan atasan dari daerah kabupaten dan daerah kota; (iv) penyelenggaraan asas dekonsentrasi hanya pada tingkat propinsi. (Tamin, 2012).
            Hoessein (2002) menjelaskan dengan panjang lebar perihal perubahan dalam
UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang tergolong perubahan yangradikal atau drastik dan bukan perubahan yang gradual. Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan yang menyertai reformasi tersebut lebihbesar daripada serangkaian reformasi yang pemah terjadi sebelumnya. Dibandingkan denganreformasi pemerintahan daerah di berbagai negara berkembang lainnya pun reformasi pemerintahandaerah di Indonesia masih tergolong sangat besar. Reformasi pemerintahan daerah di Indonesiatergolong big bang approach. Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut dapat disimak daripergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah yang terjadi sebagai berikut
(i)        Structural efficiency modelyang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal ditinggalkan dan dianutlocal democracy modelyang menekankan, nilai demokrasi dan keberagaman dalampenyelenggaraan pemerintahan daerah;
(ii)       seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pulapergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi;
(iii)      dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser modelorganisasi yang hirarkis dan bengkak ke model organisasi yang datar dan langsing;
(iv)     hubunganantara Dati II dengan Dati I yang semula dependent dan subordinatekini hubungan antaraKabupaten/Kota dengan Provinsi menjadi independent dan coordinate. Pola hubungan tersebuttercipta sebagai konsekuensi perubahan dari dianutnya integrated prefectoral systemyang utuh keintegrated prefectoral systemyang parsial hanya pada tataran provinsi. Dianutnya integrated prefectoral systempada propinsi dengan peran ganda Gubemur sebagai KDH dan Wakil Pemerintah dimaksudkan untuk mengintegrasikan kembali daerah otonom yang secara desentralmemiliki karakteristik keterpisahan;
(v)       distribusi urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang semula dianut ultra-viresdoctrinedengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti dengan general competenceatau open end arrangementyang merinci fungsi pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan Provinsi;
(vi)     pengawasan Pemerintah terhadap daerah otonom yang sernula cenderung koersif bergeser ke persuasif agar diskresi dan prakarsa daerah otonom lebih tersalurkan. Konsekuensinya, pengawasan Pemerintah terhadap kebijakan Daerah yangsemula secara preventif dan represif, kini hanya secara represif;
(vii)    dalam keuangan daerah otonom,terjadi pergeseran dari pengutamaan specific grantke block grant;
(viii)   konsep Pemerintah Daerah yang semula mencakup KDH dan DPRD menurut UU No. 5Tahun 1974 kini konsep tersebut hanya merujuk kepada KDH dan Perangkat Daerah, sedangkanDPRD berada di luar Pemerintah Daerah. KDH yang semula tidak akuntabel terhadap DPRD kini diciptakan akuntabel;
(ix)     hubungan Pemerintah dan daerah otonom yang selama UU No. 5 Tahun1974 bersifat searah dari atas ke bawah diganti dengan model hubungan yang bersifat resiprokal.
            Pada masa ini juga dikeluarkannya  UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. 
            Selanjutnya bola salju otonomi daerah bergulir dan memasuki fase kedua yang ditandai dengan diterbitkannya 3 (tiga) Undang-Undang terkait dengan keuangan Negara yaitu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
            Walaupun usianya masih baru, namun telah banyak kritik ditujukan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 ini, diantaranya menurut Haris (2001) adalah (i)  ambivalensi propinsi sebagai daerah otonom dan wilayah administrasi; (ii) bias daerah kaya sumber daya alam; (iii) tidak ada mekanisme konstitusional bagi masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan lokal sehingga peluang munculnya kembali penyalahgunaan kekuasaan didaerah terbuka lebar. Sementara Hoessein (2002) dan Suwandi (2001)   menjabarkan terjadinya inkonsistensi antarbab (Hardjosoekarto, 2008).  
            Setidaknya terdapat dua hal yang mendorong perlunya dilakukan revisi terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25 tahun 1999, yaitu
Pertama, pemerintah pusat tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, terdapat ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di berbagai daerah.
            Selain itu, terdapat potensi permasalahan,  antara lain (i) terjadinya konflik kewenangan seperti di Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi lainnya; (ii) Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (iii) rekruitmen, pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme, pendekatan kedaerahan didahulukan; (iv) sarana dan prasarana organisasi terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (v) manajemen pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan) mendasar; (vi) dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula berbagai ekses antara lain peningkatan PAD yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas daerah dan penerimaan sah lainnya yang belum dioptimalkan; (vii) standar pelayanan minimum yang belum terumuskan dengan baik; dan (viii) DPRD dalam sistem perwakilan (baru) menjadi sangat berkuasa, Kepala Daerah (eksekutif) tersandera oleh Laporan Pertanggungjawaban (Kausar, 2008).
            Berbagai pengalaman dan pembelajaran yang ditemui sepanjang 5 tahun pelaksanaan otonomi daerah ini yang kemudian mendorong dilakukannya penyempurnaan terhadap regulasi yang ada, sehingga diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang masing-masing merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Tahapan ini disebut sebagai fase ketiga.   
Secara garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 didasarkan untuk penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan UUD 1945, Ketetapan dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan dengan undang­-undang bidang politik dan undang-undang lainnya. Di samping itu juga melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menimbulkan permasalahan, menyebabkan penafsiran ganda dan belum lengkap.       Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang tersebut secara substansial mengubah  beberapa paradigma penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontinum bukan bersifat dikotomis. Dalam pembentukan daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mengatur persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan.  Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin terselenggaranya pelayanan secara optimal.
            Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian urusan yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang dapat dikelola bersama antara pusat, provinsi, atau pun kabupaten/Kota. Pembagian urusan ini  diatur dalam pasal 11 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian urusan pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa.
            Dalam urusan bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.
            Selanjutnya agar penyediaan pelayanan kepada masyarakat mampu memenuhi ukuran kelayakan minimal, pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah harus berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah.
            Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Berdasarkan konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu, maka berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005.
            Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui fungsi legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.
            Banyak perbedaan diantara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, diantaranya
(i)    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sepertinya mengadopsi kembali rumusan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menyatakan otonomi daerah adalah hak sekaligus juga kewajiban daerah otonom. Sementara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya menyatakan sebagai kewenangan saja;
(ii) Menurut Mochtar (2012), salah satu perbedaan signifikannya adalah dalam perubahan paradigma dalam pelimpahan kewenangan/urusan antara pemerintah pusat dan daerah. Perubahan paradigma tersebut diwakili oleh penggunaan nomenklatur “kewenangan” pada UU Nomor 22 Tahun 1999 (pasal 7) sedangkan UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan nomenklatur “urusan” (pasal 10).
            Antara pembagian kewenangan dengan pembagian urusan jelas terdapat perbedaan yang mendasar. Secara yuridis, yang diartikan dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah isi dari kewenangan itu sendiri.Pola yang dikembangkan UU Nomor 22 Tahun 1999 adalah pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah, yang telah ditentukan kewenangan pemerintah, kewenangan propinsi dan kewenangan Kabupaten/Kota adalah kewenangan yang tidak temasuk kewenangan pemerintah dan propinsi. Dalam konteks ini UU Nomor 22 Tahun 1999 tidak memberi ruang kepada pemerintah pusat untuk mencampuri urusan yang telah menjadi kewenangan Propinsi, Kabupaten dan Kota. Propinsi tidak pula dapat mencampuri urusan-urusan Kabupaten/Kota.
            Titik tekan UU 22/1999 adalah pada kewenangan, yang menentukan apa-apa yang akan menjadi isi dari kewenangannya. Pola ini merangsang kreativitas dan prakarsa daerah menggali berbagai aktifitas dan gagasan guna mewujudkan pelayanan publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.
            Sedangkan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang diatur adalah pembagian urusan pemerintahan yang dituangkan khusus untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, titik penekanannya adalah pada pembagian urusan maka kewenangan daerah hanya sebatas urusan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan bertambah apabila ada penyerahan dari pemerintah. Artinya, kewenangan daerah bertambah hanya jika ada penyerahan urusan. UU Nomor 32 Tahun 2004 masih memaknai desentralisasi sebagai penyerahan wewenang, tetapi sesungguhnya hanya penyerahan urusan. Dan atas urusan yang diserahkan kepada daerah itu diberikan rambu-rambu yang tidak mudah untuk dikelola daerah dengan leluasa sebagai urusan rumah tangga sendiri.       
Secara umum, Hossein (2002) membagi periodisasi kebijakan desentralisasi sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang dalam setidaknya 7 periode sebagaimana disarikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Periodisasi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia
Kurun Waktu
Prinsip Otonomi dan Landasan Yuridis
1903
Sentralisasi
Decentralisatie Wet 1903;
Local Radenordonantie No.181 Thn 1905
1942-1945
Sentralisasi
Osamu Sirei No.27 Thn 2602 (1942)
1945-1959
Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
UU No.1 Tahun 1945
UU No.22 Tahun 1948
UU No.1 Tahun 1957
1959-1966
Otoriter, Sentralistik,Dekonsentrasi
Penpres No.18/1959
UU No.18/1965
1966 -1969/1971
Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
TAP MPRS No.21/1966
1971-1998
Otoriter, Sentralistik, Dekonsentrasi
TAP MPR No.IV/1973
UU No.5/1974
UU No.5/1979
1998- sekarang
Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
TAP MPR No.IV/1998
UU No.22/1999
UU No.25/1999
UU No.32/2004
UU No.33/2004
Sumber: Diadopsi dari Hossein, 2002
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa, sampai kini, setidaknya telah dihasilkan tujuh undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004.
C.2      Otonomi Daerah dalam UUD 1945[2]
            UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia sejak awal telah menegaskan dianutnya prinsip otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu tercermin dalam amanat Pasal 18 UUD 1945 Sebelum Perubahan mengenai pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan adanya daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) dan pada daerah-daerah tersebut akan diadakan badan perwakilan sehingga pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
            Walaupun secara tegas UUD 1945 menghendaki adanya otonomi daerah, namun praktik penyelenggaraannya mengalami pasang surut. Bahkan kita pernah mengalami puncak-puncak sentralisasi seperti pada masa diterapkannya demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan Presiden Soekarno. Di awal Orde Baru, pemikiran pentingnya otonomi daerah sempat menguat dan menjadi salah satu kebijakan yang dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-Luasnya Kepada Daerah. Namun idealisme tersebut kembali pupus oleh kebijakan konsolidasi kekuasaan Orde Baru yang mengarah kepada sentralisasi yang diwujudkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
            Tuntutan pemberian otonomi daerah kemudian menjadi bagian dari agenda demokratisasi di era reformasi hingga lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Kembalinya otonomi daerah tidak hanya diwujudkan dalam bentuk hukum undang-undang, tetapi juga ditegaskan dalam UUD 1945 melalui perubahan yang dilakukan oleh MPR. Ketentuan tentang pemerintahan daerah yang semula hanya diatur dalam satu pasal tanpa ayat (Pasal 18), diperinci pengaturannya menjadi 3 Pasal (Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B), yang berisi 11 ayat.
            Dalam UUD 1945, perubahan tersebut diatur yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota, juga ditentukan bahwa masing-masing daerah tersebut mempunyai pemerintahan daerah yang mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Untuk melaksanakan otonomi tersebut pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain (misalnya keputusan gubernur atau keputusan bupati/walikota).

C.3      Desentralisasi Fiskal di Indonesia[3]
C.3.1   Pentingnya Desentralisasi Fiskal
            Menurut Sidik (2002), tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat menjamin: (i) Kesinambungan kebijakan fiskal (fiskal sustainability) dalam konteks kebijakan ekonomi makro; (ii) Mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance) dan ketimpangan antara pusat dengan daerah (vertical imbalance) untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan pemerintah daerah; (iii) Dapat memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional; (iv) Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah; (v) Memperbaiki keseimbangan fiskal antar daerah dan memastikan adanya pelayanan yang berkualitas di setiap daerah; dan (vi) Menciptakan kesejahteraan sosial (social welfare) bagi masyarakat.
C.3.2   Periodisasi
            Sejarah sistem transfer di Indonesia dapat dibagi dalam 3 masa yaitu (i) periode sebelum Subsidi Daerah Otonom (SDO) (1945-1972), (ii) periode SDO; (iii) periode DAU.
Ø Periode sebelum SDO
     Periode ini terbagi dalam tiga bagian. Pertama (1945-1956). Pemerintah bertujuan memastikan pemerintah daerah mempunyai kemampuan untuk membiayai defisit mereka dengan subsidi pemerintah. Terbukti kemudian bahwa tujuan ini tidak tercapai. Kedua (1956-1964). Pemerintah memperkenalkan skema bagi hasil pajak. Pemerintah daerah mendapat porsi tertentu dari penerimaan pajak pemerintah. Ketiga (1965-1974). Pemerintah mengganti skema yang ada dengan subsidi langsungyang didasarkan pada kebutuhan pembayaran gaji oleh pemerintah daerah. Skema ini dikenal dengan sistem subsidi antarpemerintah yang kemudian menjadi dasar dari subsidi daerah otonom (SDO). Pada saat yang sama, pemerintah juga menggunakan beberapa skema yang lain seperti kontribusi pemerintah pada pemda, beberapa tipe dana bantuan pembangunan, dan bagi hasil sumber daya hutan, dan sewa lahan pertambangan.
Ø Periode SDO (1972-2001).
     SDO pertama kali diimplementasikan pada 1972/1973. SDO ditujukan untuk pembayaran gaji pegawai lokal. SDO bersifat mengikat dan ditujukan untuk mendukung kegiatan rutin. Untuk kegiatan pembangunan disediakan INPRES yang ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Terdapat berbagai bentuk INPRES, baik berbentuk dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus. SDO dan INPRES bertahan sampai diperkenalkannya DAU pada tahun 2001.
Ø Periode DAU.
     Desentralisasi fiskal di Indonesia mulai berkembang setelah tahun 1970-an dan dipuncaki pada tahun 1999 ketika dalam setahun Indonesia menjadi negara paling terdesentralisasi di dunia. Sumbangan pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah bertambah dua kali lipat dari tahun 2000 ke 2001. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran di berbagai kalangan. Walaupun kemudian ternyata berlangsung dengan baik.
     Perubahan tersebut tercantum dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut, sistem desentralisasi fiskal di Indonesia terdiri dari tiga sistem transfer antarpemerintah yaitu (i) bagi hasil sumber daya alam, pajak pendapatan perorangan dan properti; (ii) Dana Alokasi Umum (DAU); (iii) Dana Alokasi Khusus (DAK)[4].
C.3.3   Implikasi UU Nomor 33 Tahun 2004
            Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi dan desentralisasi, pemerintah telah melakukan revisi atas UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004.
       Menurut UU Nomor 25 Tahun 1999 tersebut, sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang sah. PAD terdiri dari komponen Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam yang dibagikan kepada daerah berdasarkan presentase tertentu. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, terjadi revisi mengenai dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, kini menjadi bagian dari DBH. DAK merupakan dana yang berasal dari APBN dan dialokasikan kepada daerah yang dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan khusus daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
       Menurut UU tersebut, pengaturan pembiayaan daerah dilakukan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD. Oleh karenanya, kepala daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.
       UU Nomor 33 Tahun 2004 mengubah pola bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan berlaku hingga saat ini. Subsidi Daerah Otonom dan Dana Inpres dihapuskan dan diganti dengan DAU. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, DAU bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal imbalance). Jumlah DAU yang dibagikan minimal 26% dari penerimaan dalam negeri dan akan dibagikan kepada seluruh propinsi dan kabupaten/kota menurut suatu rumusan. Dalam UU tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa kriteria DAU didasarkan pada dua faktor penting, yakni kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi perekonomian daerah (fiscal capacity). Kemampuan fiskal yang dimaksud adalah kemampuan anggaran pemerintah yang bersangkutan dalam membiayai pemerintahannya, meliputi PAD, PPB, Bagi Hasil, PPh orang pribadi, Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PDRB, potensi SDM. Sedangkan besarnya kebutuhan daerah (fiscal needs) dilihat dari jumlah penduduknya, luas wilayah, keadaan geografis, dan tingkat kemakmuran masyarakat dengan memperhatikan kelompok miskin. Celah fiskal (fiscal gap), yang merupakan dasar penentuan DAU, adalah selisih antara fiscal capacity dengan fiscal needs. Dengan kata lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah lebih besar dari potensi penerimaan daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU akan lebih kecil kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal relatif besar. Sebaliknya perolehan DAU yang lebih besar akan diberikan kepada daerah-daerah dengan kemampuan fiskal relatif kecil. Dengan adanya konsep ini, beberapa daerah khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif.
       Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penurunan kemampuan daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, selain menggunakan formula fiscal gap perhitungan DAU juga menggunakan faktor penyeimbang yang terdiri dari: (a) lumpsum yang berasal dari sejumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara merata kepada seluruh daerah yang besarnya tergantung pada kemampuan keuangan negara; (b) transfer dari pemerintah pusat yang dialokasikan secara proporsional dari kebutuhan gaji pegawai masing-masing daerah. Dengan adanya faktor penyeimbang, alokasi DAU kepada daerah ditentukan dengan perhitungan formula fiscal gap dan faktor penyeimbang.
       Dengan begitu, kemampuan fiskal merupakan isu penting dan strategis, karena di masa mendatang pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi bahkan melepaskan ketergantungannya secara finansial kepada pemerintah pusat. Perlu dimengerti, karena tingkat ketergantungan finansial tersebut mempunyai hubungan terbalik dengan tingkat perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka untuk mengurangi ketergantungan finansial tersebut pemerintah daerah harus merancang dan menetapkan berbagai skim peningkatan PAD. Secara umum skim peningkatan PAD meliputi:
·         Intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah dalam bentuk pajak atau retribusi.
·         Eksplorasi sumber daya alam
·         Skema pembentukan capital (capital formation) atau investasi daerah melalui penggalangan dana atau menarik investor.
       Dari ketiga pilihan kebijakan ini, tampaknya skim menarik investor merupakan pilihan yang paling bersifat sustainable dan mempunyai multiplier effect yang bermanfaat, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan. Pilihan intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah, baik secara langsung maupu secara tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya high cost economy yang mengarah pada tekanan inflasi, sedangkan pilihan kedua, terutama jika sumber daya yang tersedia bersifat tak-terbarukan (non-renewable), akan terbentur pada persoalan keberlanjutan.
C.4   Kinerja dan Dampak
            Sejak dicanangkannya otonomi daerah pada tahun 2000, melalui diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terbentuk daerah otonom baru  sebanyak 205 buah yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 Kota. Dengan perkataan lain terjadi peningkatan  64% dari jumlah daerah otonom tahun 1998 atau secara rata rata dalam satu tahun lahir 20 daerah otonom baru  Sehingga daerah otonom menjadi sebanyak 524 unit (propinsi, kabupaten, kota) (Kemendagri, 2010).  Selengkapnya pada Tabel 2.
            Hasil evaluasi efektifitas pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum mencapai tujuan yang hakiki dari otonomi daerah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesimpulan ini merupakan hasil kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas pada tahun 2011. 
Tabel 2  Perkembangan Jumlah Daerah Otonom antara Tahun 1999 – 2010
JUMLAH DAERAH OTONOM
1999
               PERUBAHAN
2010
Jumlah provinsi
26
7
33
Jumlah kabupaten
234
164
398
jumlah kota
59
34
93
Jumlah Total Daerah Otonom(*)
319
205
524
Sumber: Harmantyo, 2011.
(*) Angka ini tidak termasuk provinsi DKI Jakarta dan 6 daerah administratif.

            Adapun indikator pengukuran efektifitas pelaksanaan otonomi daerah yang dipergunakan adalah sebagai berikut.
a.    Angka Kemiskinan. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah daerah yang berada di bawah garis kemiskinan tidak berkurang.
b.    Kualitas SDM. Kualitas sumber daya manusia masih belum memadai.
c.    Pemenuhan hak dasar.  Masih banyak anak-anak putus sekolah, diskriminasi layanan kesehatan masih banyak dijumpai. Berdasar data BPS, pada tahun 2009 masih banyak propinsi dengan indeks pembangunan manusia (IPM) jauh dibawah rata-rata nasional yaitu 19 propinsi.
d.    Lapangan kerja dan angka pengangguran. Angka pengangguran masih cukup tinggi.
e.    Pengembangan infrastruktur seperti jalan, penerangan dan air minum. Kondisi jalan dengan kualitas rusak berat, rusak ringan, dan tidak mantap jumlahnya masih signifikan. Masih terdapat sekitar 7 persen desa yang belum terlayani listrik. Masih sekitar 70 juta penduduk belum mendapat layanan air minum, bahkan perilaku buang air besar (BAB) masih dilakukan oleh sekitar 60 juta penduduk.
f.     Pemberdayaan ekonomi. Upaya penciptaan lapangan pekerjaan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
g.     Kualitas pengelolaan pemerintahan berdasar prinsip Kepemerintahan yang Baik (Good Governance). Manurut hasil riset Booz-Allen dan Hamilton pada tahun 1999, menunjukkan bahwa Indonesia masih masuk dalam kategori poor governance. Tertinggal dibanding Negara Asia Tenggara lainnya.
          Terlepas dari perdebatan tentang dampak positip dan negatip dari otonomi daerah, setidaknya berbagai kalangan mempercayai terdapat banyak hal positip dari penerapan konsep otonomi daerah di Indonesia, diantaranya (i) semakin meningkatnya tingkat kemandirian dan kemampuan daerah dalam mengelola pembangunan ekonomi daerahnya, ditunjukkan dari terjadinya perencanaan ekonomi daerah yang lebih mempertimbangkan aspirasi masyarakat di daerah (bottom-up planning), peningkatan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan; (ii)  perkembangan perekonomian yang signifikan, ditandai dengan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),  pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, serta semakin membaiknya fungsi intermediasi bank umum. Walaupun secara regional masih terdapat propinsi justru memperoleh dampak negatif.
            Sementara hasil kajian IRDA (2002) menunjukkan desentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi penting, yaitu (i) meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal; (ii) perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka meningkatkan kualitas pelayanan publik; dan (iii) pemerintah daerah saling bekerjasama dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang sama-sama mereka hadapi. Walaupun demikian,  SMERU (2002) mengungkap fakta banyaknya daerah yang memberlakukan berbagai pungutan baru yang berpotensi menghambat iklim investasi dan gairah bisnis lokal (Utomo, 2010).
          Di sisi lain, dampak negatif juga terjadi diantaranya (i) banyak kebocoran (korupsi) dan penggunaan anggaran yang tidak efisien dan efektif; (ii) terbukanya potensi kegaduhan yang disebabkan oleh ketidaksiapan daerah dan ketidaklengkapan desain regulasi untuk mengimplementasikan proses desentralisasi, berupa desentralisasi KKN dan duplikasi Perda yang justru berlawanan dengan spirit otonomi daerah. Jika sebelumnya watak KKN lebih bersifat vertikal dengan institusi di atas mengambil bagian yang paling besar, maka sejak era otonomi watak KKN lebih bersifat horizontal dengan setiap lini penyelenggara pemerintah (daerah) mengambil bagian yang sama. Contoh lainnya, pemerintah daerah mencoba meningkatkan penerimaan daerah akibat orientasi kepada PAD yang berlebihan. Masalahnya adalah, peningkatan PAD tersebut dibarengi dengan kebijakan-kebijakan duplikatif sehingga sangat memberatkan masyarakat dan pelaku ekonomi pada khususnya[5]. Sebagian besar Perda-perda tersebut dianggap menjadi penyebab munculnya high cost economy (ekonomi biaya tinggi) sehingga tidak mendukung upaya peningkatan iklim usaha di Indonesia, baik dalam bentuk pajak, retribusi, maupun non-pungutan. Pada kasus ini tentu saja pemerintah daerah telah berperan sebagai pencari rente (Rent-Seeker) (Sari dkk, 2012).
          Temuan lain oleh Hidayat (2003), bahwa kebijakan desentralisasi juga tak luput dari serangkaian permasalahan seperti  munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya oligarki politik oleh elit lokal maupun gejala pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat.
C.5      Isu, Tantangan dan Kendala
            Memperhatikan pengalaman pelaksanaan otonomi daerah, dapat dikategorikan beberapa isu utama yang perlu mendapat perhatian, diantaranya adalah.
Ø  Tumpang tindih regulasi sektoral dan desentralisasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
            Berdasarkan kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas (2011), terdapat 87 regulasi sektoral yang mengatur 31 urusan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Setidaknya 29 bidang urusan diantaranya tumpang tindih. Lihat Tabel berikut
Tabel 3.
Peraturan Perundangan pada 31 Sektor yang Terkait dengan Desentralisasi


1 Pengertian sebanyak-banyaknya pada dasarnya sama dengan otonomi seluas-luasnya.
[2] Sub Bab C.2 mengutip sebagian besar, dengan beberapa penyesuaian, dari Makalah Akil Mochtar berjudul Permasalahan Aktual Penerapan Kebijakan Otonomi Daerah (2012).
[3]Bagian ini sebagian besar mengutip dari Bambang Brodjonegoro dan Jorge Martinez-Vazquez. An Analysis of Indonesia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospects. Makalah pada Konperensi bertema Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?, 2002.

[4]Pada saat studi ini dilakukan, UU No. 25 Tahun 1999 mengalami revisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Namun secara garis besar tidak terjadi perubahan mendasar dalam sistem desentralisasi fiskal Indonesia. Namun demikian, implementasi kebijakan belum dapat dijelaskan.
[5]Menteri Keuangan pada tahun 2003 telah merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mencabut 206 Perda di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Perda yang bermasalah pada level kabupaten pada tahun 2006 bahkan mencapai 65,63% dari seluruh total Perda yang diproduksi, sedangkan pada level propinsi dan kota di bawah 22%. (Jatmiko, 2010)

1 komentar:

mr.deck mengatakan...

Halo, perkenalkan saya Deka.

Saya tertarik membaca artikel anda ini karena kebetulan sedang melakukan riset di bidang ini. Kalu tidak keberatan, boleh tahu daftar literatur dan referensi yang dipakai untuk penulisan artikel ini? Soalnya di bagian akhir tidak dicantumkan.

Mohon kiranya dapat dikirimkan ke email saya deckanizzation@gmail.com

Terima kasih.

Sukses selalu