PERESMIAN BLOGGER ALEXANDER UMBU GODA

Alexander umbu goda secara resmi hari ini tanggal 05 october 2013 telah memutuskan untuk menetapkan sebuah lencana dalam blog ini yang saya beri nama Peresmian Bloger Alexander

Rabu, 27 Agustus 2014

GLOBALISASI

GLOBALISASI
Penulis : Alexander Umbu Goda
sumber : Buku catatan SMP dan SMK
Topik : Globalisasi.
=====================================================================

        Pengertian Globalisasi adalah suatu proses interaksi yang saling mempengaruhi dan saling bergantung antara yang satu dengan yang lain nya dilakukan oleh antar kelompok, antar individu dan juga oleh antar bangsa atau sesuatu yang berkaitaan dengan dunia internasional atau seluruh alam jagad raya
Sesuatu hal yang dimaksud itu antara lain masalah, kejadian, kegiatan atau bahkan sikap yang sangat berpengaruh dalam kehidupan yang lebih luas.
Faktor Penyebab Terjadinya Globalisasi
  • Globalisasi muncul karena adanya bangsa-bangsa. Masalah Globalisasi merupakan suatu ketergantungan dalam masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya antarbangsa di dunia. Globalisasi terbentuk karena beberapa faktor, yaitu :
  • Kebijakan negara untuk berhubungan dan menjalin kerja sama dengan negara lain.
  • Sistem ekonomi internasional 
  • Adanya migrasi penduduk ke berbagai negara
  • Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
. Berkembang pesatnya perusahaan-perusahaan transnasional
Penyebab meningkatnya globalisasi ada tiga faktor, yaitu:
a.Adanya Perubahan Politik Dunia
Menurut Anthony Giddens, ada sejumlah pengaruh politik yang memengaruhi meningkatnya globalisasi. Yaitu:
  1. Bubarnya Uni Soviet tahun 1991 dan Jatuhnya Komunisme Model Soviet.Sejak bubarnya Uni Soviet, negara-negara bekas blok Soviet seperti Rusia, Polandia, Republik Ceko, dan lain-lain bergerak mengikuti sistem politik dan ekonomi Barat.
  2.  Munculnya Mekanisme Pemerintahan Internasional dan Regional
Mekanisme pemerintah internasional dan regional misalnya PBB dan Uni Eropa.
  •  Munculnya Organisasi Antarpemerintah (Intergovernmental Organizations/IGOs) dan Organisasi Non-pemerintah Internasional (Internasional Non-Governmental Organizations/INGOsOrganisasi-organisasi internasional ini mendorong terjadinya komunikasi dan interaksi antarpemerintah atau masyarakat antarnegara. Hal ini juga mendorong meningkatnya globalisasi
  • Adanya Aliran Informasi yang cepat dan luasKemajuan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi mendorong tiap-tiap individu bisa berhubungan dengan cepat. Selain itu, kemajuan di bidang teknologi juga menbuat individu dapat mengakses informasi dengan cepat, baik informasi dari dalam negeri maupun luar negeri
  • .Berkembang Pesatnya Perusahaan-Perusahaan Transnasional.Perusahaan transnasional atau transnational corporations (TNCs) adalah perusahaan yang memproduksi barang atau jasa di lebih dari satu negara.
Ciri-ciri Globalisasi
  • Perubahan dalam konsep ruang dan waktu yang diakibatkan oleh perkembangan telepon genggam, televisi satelit dan internet.
  •  Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung satu negara dengan negara lain
  •  Peningkatan interaksi budaya antar negara melalui media massa
  •  Munculnya masalah global yang menuntut dunia mengatasi masalah tersebut secara bersama
        Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. 

          Pengaruh globalisasi, sekarang ini tidak dapat dipungkiri lagi karena banyaknya kemajuan teknologi yang masuk kedalam Negara dan bangsa kita. Tidak sedikit teknologi yang masuk, seperti: computer dan yang telah terlengkapi sehingga bisa jadi internet, televisi, radio, hp dan masih banyak lain sebagainya. Karena banyaknya persaingan sehingga banyak pula teknologi yang makin hari makin meningkat, apalagi pada Negara-negara yang maju, dia bisa mengeluarkan produk tiap harinya.
Bahkan sampai kekehidupan keluarga, seperti radio, hp, dan yang tidak asing lagi yaitu televisi. Televisi hampir semua kalangan kehidupan keluarga memiliki benda tersebut. Karena televisi selain menarik televisi juga bisa memberikan berbagai informasi, pengetahuan, dan hiburan. Dengan televisi bisa mengetahui kehidupan berbagai Negara. Televisi mempunyai banyak saluran/ gelombang, sehingga pemilik bisa memilih acara yang dikehendakinya, kerena mempunyai acara-acara tersendiri setiap gelombangnya.
Menurut pendapat Krisna (Pengaruh Globalisasi Terhadap Pluralisme Kebudayaan Manusia di Negara Berkembang.internet.public jurnal.september 2005). Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. 
Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar  luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.

       Pengaruh Globalisasi Terhadap Indonesia Baik itu Positif maupun Negatif adalah sebagai berikut :


  1.  Dilihat dari aspek globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis, karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara. Jika pemerintahan dijalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa jati diri terhadap negara menjadi meningkat dan kepercayaan masyarakat akan mendukung yang dilakukan oleh pemerintahan.
  2.  Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja yang banyak dan meningkatkan devisa suatu negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang dapat menunjang kehidupan nasional dan akan mengurangi kehidupan miskin.
  3.  Dari aspek globalisasi sosial budaya, kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin serta Iptek dari negara lain yang sudah maju untuk meningkatkan kedisplinan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa serta akan mempertebal jati diri kita terhadap bangsa. Serta kita juga dapat bertukar ilmu pengetahuan tentang budaya suatu bangsa.Pengaruh negatif globalisasi terhadap masyarakat Indonesia.
  4.  Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa. Serta menambah angka pengangguran dan tingkat kemiskinan suatu bangsa.
  5. .Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa. Padahal jati diri bangsa kita dahulu mengutamakan Gotong Royong, tapi kita sering lihat sekarang contohnya saja di perumahan / komplek elit, mereka belum tentu mengenal sesamanya. Dari hal tersebut saja sudah tercermin tidak adanya kepedulian, karena jika tidak kenal maka tidak sayang.
         Nah inilah informasi mengenai Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai-Nilai Kehidupan Masyarakat Indonesia yang berkembang saat ini,bisa jadi kita sudah merasakannya keseluruhan seperti info diatas,semoga saja bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang makmur dan Maju. PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP BIDANG POLITIK , EKONOMI SOSIAL DAN BUDAYA 
Pengaruh globalisasi  dalam bidang ekonomi, antara lain :
  1. Globalisasi dan liberalisme pasar telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi. Semakin melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan antar negara-negara kaya dengan negara-negara miskin. Munculnya perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Membuka peluang terjadinya penumpukan kekayaan dan monopoli usaha dan kekuasaan politik pada segelintir orang. Munculnya lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, WTO.
  2. Dampak Globalisasi dalam bidang Sosial Budaya :Semakin bertambah globalnya berbagai nilai budaya kaum kapitalis dalam masyarakat dunia. Merebaknya gaya berpakaian barat di negara-negara berkembang. Menjamurnya produksi film dan musik dalam bentuk kepingan CD/ VCD atau DVD.
  3.  Dampak Globalisasi dalam bidang Politik
        Negara tidak lagi dianggap sebagai pemegang kunci dalam proses pembangunan. Para pengambil kebijakan publik di negara sedang berkembang mengambil jalan pembangunan untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi. Timbulnya gelombang demokratisasi ( dambaan akan kebebasan ).
Dampak positif Globalisasi :
1. Mudah memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan
2. Mudah melakukan komunikasi
3. Cepat dalam bepergian ( mobili-tas tinggi )
4. Menumbuhkan sikap kosmopo-litan dan toleran
5. Memacu untuk meningkatkan kualitas diri
6. Mudah memenuhi kebutuhan

Dampak negatif Globalisasi
:
1. Informasi yang tidak tersaring
2. Perilaku konsumtif
3. Membuat sikap menutup diri, berpikir sempit
4. Pemborosan pengeluaran dan meniru perilaku yang buruk
5. Mudah terpengaruh oleh hal yang berbau barat 

        Munculnya globalisasi tentunya membawa dampak bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Dampak globalisasi tersebut meliputi dampak positif dan dampak negatif di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan berdampak kepada nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa. 
Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme :

  • Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat. 
  •  Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
  •  Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme :
  1.  Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
  2.  Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
  3.  Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
         Dampak Globalisasi terhadap sosial budaya
Keadaaan keseimbangan dalam masyarakat merupakan keadaan yang diidam-idamkan oleh setiap masyarakat. Dalam keadaan yang demikian, individu-individu secara psikologis merasakan adanya suatu ketentraman, sebab tidak ada pertentangan-pertentangan dalam norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Setiap kali terjadi gangguan keseimbangan, masyarakat dapat menolak unsur-unsur yang akan membawa perubahan. Penolakan ini disebabkan masyarakat takut terjadi goyahnya keseimbangan sistem yang berarti dapat muncul ketidaktentraman.

        Dampak Globalisasi Dalam Berbagai Bidang
Politik luar negeri yang semakin terbuka untuk penyertaan modal asing dalam produksi nasional ikut berperan dalam semakin tergantungnya perekonomian nasional pada sistem gurita perusahaan global yang sangat sensitif pada terpeliharanya risiko stabilitas negara. 
Pada saat orde reformasi tampil memimpin proses pembangunnasional, ekonomi dunia sedang memasuki abad komputerisasi dan digitalisasi. Teknologi informasi dan telekomunikasi ternyata kemudian berhasil merubah tatanan dan pola produksi, perdagangan serta investasidari perusahaan multinasional dan perusahaan global. Globalisasi menuntut perubahan pengaturan kebijakan perdagangan dan investasi yang memberikan ruang gerak yang lebih leluasa agar kapital, teknologi dan tenaga kerja dapat berpindah dengan mudah antar kedaulatan wilayah negara. Dia menuntut juga perubahan paradigma, perilaku dan sistem pengalokasian sumber daya ekonomi dan perusahaan.

       Di satu pihak globalisasi telah membawa berbagai kesempatan untuk pengusaha-pengusaha lokal yang tanggap dan siap memanfaatkan peluang. Sebaliknya globalisasi juga telah menerkam mangsa yang lemah dalam aspek pemanfaatan teknologi, penggunaan sumber kapital dan kepemilikan sumber daya manusia yang kapabel dan kompeten. Pakar dunia dalam globalisasi Sekaliber Stiglitz bahkan telah menyimpulkan bahwa globalisasi telah menimbulkan banyak kekecewaan karena efek berantai yang dihasilkannya di negara berkembang; meliputi kemiskinan, pengangguran, kepastian hidup, ketidakstabilan dan kerusakan lingkungan hidup.

       Perekonomian Indonesia yang menekankan pertumbuhan ekonomi tinggi ternyata memang rentan pada kemampuannya menetralisir efek negatif dari globalisasi dan gejolak pasar internasional. Ketidaksiapan kita dengan kompetensi sumber daya manusia yang kompeten, ditambah dengan tidak berperannya sistem hukum, politik dan sosial yang dapat menyikapi berbagai kesempatan dari keterbukaan ekonomi ini, semuanya ini sangat berperan dalam menciptakan “prestasi semu” dari pembangunannasional yang telah kita uraikan di atas.
Daya tahan perekonomian Indonesia dari perusahaan-perusahaan industri pribumi terbukti masih lemah dan menunjukan kekurang mampuannya mengantisipasi dampak dari jatuhnya kepercayaan luar negeri pada kondisi politik dan sosial, dan menurunnya daya beli masyarakat beberapa tahun setelah krisis ekonomi meletus.
Masih teringat di benak kita bagaimana efek domino jatuhnya nilai mata uang “bath” Thailand pada tahun 1997 kemudian membuat negara kita seringkali mendevaluasi “rupiah”. Sistem kepemerintahan Orde Barupun jatuh setelah itu dengan efek rantai kekacauan di segala ini pada aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hitungan 2 sampai 3 tahun setelah itu banyak perusahaan-perusahaan yang merupakan kebanggaan kita menjadi porak poranda. Daftar kepailitan perusahaan semakin bertambah. 

      Kondisi ini sangat rentan pada upaya memelihara
Jelas sudah bahwa globalisasi ekonomi dapat memberikan peluang dan berbagai kesempatan luas jika kita siap dengan strategi dan kompetensi SDM untuk memanfaatkannya. Tetapi di lain pihak globalisasi ekonomi pada saat kita tidak mapu memanfaatkan peluang akan memberikan kekecewaan dan dampak negatif yang berantai serta meminta biaya pengorbanan yang sangat tinggi bagi masyarakat.


a. Dampak Globalisasi Dalam Bidang Ekonomi 

      Globalisasi memberikan banyak pilihan dari produk yang kita inginkan yang tentunya disesuaika dengan kebutuhan dan harga yang kita mampu. Contohnya, yaitu kita dapat memperbandingkan harga sebuah sepatu dengan merek tertentu, baik dari segi kualitas maupun harga yang kita inginkan. Globalisasi telah membawa masyarakat kota maupun masyarakat pedesaan menjadi masyarakat yang konsumerisme. Hal yang perlu dipertimbangkan dari dampak buruk globalisasi, yaitu jika pencitraan (image) produk luar negeri selalu lebih baik dari produk dalam negeri akan berakibat fatal.kefatalan tersebut akan menjadi boomerang bagi produk-produk dalam negeri yang tentu saja akan kalah bersaing , baik dari segi kualitas maupun kuantitas produk yang dihasilkan. Bagaimana tidak, kita selalu tertinggal dari teknologi yang digunakan dibanding dari negara industri luar yang lebih maju. Belum lagi sumber daya manusia yang rata-rata berkuaitas lebih rendah dari Negara-negara industri (Negara maju).

b. Dampak Dalam Bidang Sosial Budaya

        Globalisasi telah banyak mengubah kebiasaan, bahkan dapat mengubah budaya suatu bangsa. Contoh kecil, misalnya, adanya perilaku yang menyimpang di dalam masyarakat seperti pergaulan bebas, yang melanda tidak hanya di kota-kota besar saja, teteapi juga sudah melingkupi seluruh pelosok desa. Akibatnya banyak terjangkit penyakit seperti HIV yang banya ditemukan di Afrika. Akibat serbuan inforamasi yang mudah diakses keseluruh penjuru dunia, yang dapat mempengaruhi pikiran penonton, pada gilirannya jika sebuah tayangn yang merusak tadi mempengaruhi sebuah kelompok bangsa, maka akan menjadi sebuah budaya yang merusak, seperti merokok, narkoba, dan pergaulan bebas.
Tentu saja dampak positifnya seperti gaya hidup meniru orang barat dalam kedisiplinan, bekerja lebih efektif dan efisien,menghargai waktu, yang sekarang bahkan menjadiacuan untuk menggunakan waktu yang sebaik mungkin.

c. Dampak Dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi

          Arus globalisasi semakin cepat dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Ditemukannya obat-obatan dan teknologi dalam kedokteran akan membantu banyak manusia dalam hal kemanusiaan. Dalam bidang biologi daam hal biotic, banyak membantu kemjuan para petani memaksimalkan produk pertanian dan peternakan. 
Selain dampak positif ada juga dampak negatifnya, seperti ketika manusia menemukan bahan peledak dan bom atom yang digunakan dalam peperangan. Senjata kimia dan biologis yang sangat mengerikan jika digunakan dalam pemusnahan manusia karena perang. Hal-halyang seperti inilah yang seharusnya perlu kita hindari

d. Dampak Globalisasi Dalam Bidang Politik

         Globalisasi memudahkan manusia dalam berhubungan, termasuk dalam menjalin kerja sama dalam bidang diplomatic dengan Negara-negara lain. Hal ini dimungkinkan karena kerja sama, baik dalam perdagangan maupun dalam politik mampu membuat negeri kita dikenal oleh bangsa lain dengan lebih baik.dengan adanya kunjungan dan komunikasi baik langsung maupun tidak langsung, mampu mempererat hubungan antara dua Negara atau lebih. Jadi, jika sebuah Negara tidak mau terasing oleh masyarakat dunia, kita harus mau membuka diri supaya tidak tertinggal dalam hal apapun. Globalisasi memungkinkan untuk menjadikan Negara-negara yang lebih terbuka dengan ekonomi kita dan bahkan dalam hal ratifikasi-ratifikasi undang-undang tertentu. 


DAMPAK GLOBALISASI

          Aspek dan dampak globalisasi dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia
Aspek Politik Dampak Positif dengan adanya globalisasi antara lain pemerintahan dijalankan secara transparan (terbuka) , demokratis dan penuh kebebasan .
Dampak Negatif dengan adanya globalisasi , mampu membuka cakrawala berfikir masyarakat ini secara global . Dapat melahirkan dilematika . Bila dipenuhi konsekuensinya di satu pihak hal itu belum tentu cocok ditetapkan di Indonesia.

         Aspek Ekonomi Dampak positif dalam aspek ini dengan adanya globalisasi dapat kita petik hal – hal : 
1.Makin terbukanya pasar Internasional bagi hasil produksi dalam negeri
2.Mendorong kita untuk memproduksi barang yang berkualitas tinggi
3.Mendorong para pengusaha untuk meningkatkan efesiensi dan menghilangkan biaya tinggi 4.Dimungkinkan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan devisa negara.

        Dampak negatif dari aspek ekonomi adalah :
1.Dengan adanya keterbukaan maka kita akan dibanjiri barang – barang dari luar.
2.Dengan adanya kebebasan masuknya investasi dari luar ke negara kita,bisa menguasai
   Perekonomian kita
3.Dengan adanya persangian bebas maka kelak akan ada pelaku ekonomi yang menang         dan kalah.

       Aspek Sosial Budaya
Dampak Positif dalam aspek ini adalah kita dapat mengambil atau belajar dari tata nilai sosial budaya , cara hidup , pola berfikir yang baik maupun ilmu pengetahuan dan teknologi dari bangsa lain yang telah maju untuk kemajuan dan kesejahteraan kita .

      Dampak Negatifnya antara lain :
1.Semakin ketatnya persaingan antar individu
2.Munculnya sifat hedonisme Adanya sikap individualisme
3.Bisa mengakibatkan kesenjangan sosial

Aspek Pertahanan Keamanan

      Dampak positif globalisasi dalam aspek pertahanan keamanan dapat dilihat dari adanya hubungan kerja sama antarbangsa , khususnya dalam bidang pertahanan keamanan baik kerja sama bilateral , regional maupun internasional.
Dampak negatifnya yaitu kemajuan teknologi juga dipergunakan oleh jaringan atau kelompok penjahat internasional untuk beroprasi di berbagai negara untuk mempermudah mencapai tujuannya .

Pengaruh Globalisasi terhadap kehidupan bangsa dan negara Indonesia

Bidang Ideologi

Pancasila sebagai ideologi terbuka , pada prinsipnya dapat menerima unsur – unsur daru dari bangsa lain sepanjang tidak bertentangan dengan nilai – nilai dasar pancasila .
Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan pemahaman dan pengamalan pancasila selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman . Ini termasuk dari Dampak Positif.
Sebaliknya , pengaruh negatif globalisasi harus diwaspadai, karena globalisasi mampu meyakinkan sementara masyarakat indonesia bahwa liberalisme dapat membawa manusia ke arah kemajuan dan kemakmuran .

Bidang Politik

         Pengaruh positif globalisasi yang menawarkan kehidupan politik yang demokratis , dengan mengutamakan keterbukaan , jaminan hak asasi manusia , dan kebebasan , berpengaruh kuat terhadap pikiran maupun kemauan bangsa Indonesia .
Segi negatif dari pengaruh globalisasi terhadap bidang politik , terutama adanya ancaman disintegrasi bangsa dan negara yang akan menggoyahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia .

Bidang Ekonomi

        Dengan hadirnya barang impor , masyarakat diperkenalkan dengan berbagai kemajuan teknologi yang canggih dan modern . Ini cenderung membawa pengaruh positif .
Adapun pengaruh negatifnya , dengan adanya makanan impor maka sebagian besar generasi muda kita lebih merasa bergengsi dapat menikmati makanan bermerek internasional tersebut , sehingga tidak mengenal lagi makanan – makanan tradisional.

Bidang Sosial Budaya

          Pengaruh positif globalisasi dalam aspek sosial , ditandai dengan adanya rasa solidaritas sosial yang tiggi antarbangsa di berbagai negara .
Namun sebaliknya , terdapat pula pengaruh globalisasi yang bersifat negatif yang melanda masyarakat atau bangsa Indonesia seperti sikap dan perilaku , serta gaya hidup yang meniru orang – orang barat yang bertentangan dengan norma dan nilai – nilai budaya bangsa .

Bidang pertahanan dan keamanan

          Globaisasi yang menyajikan informasi yang cepat dan akurat , juga membawa pengaruh bagi aspek pertahanan dan keamanan bangsa dan negara Indonesia .
Beberapa segi negatif pengaruh globalisasi terhadap keamanan dan pertahanan negara , antara lain munculnya reaksi – reaksi keras dari sebagian rakyat Indonesia terhadap peristiwa atau tragedi yang terjadi di suatu negara yang dianggap melanggar hak asassi manusia .
Ancaman disintegrasi bangsa karena adanya pengaruh dan dukungan dari negara lain, juga perlu diwasapadai.
Seleksi terhadap pengaruh globalisasi dibidang politik

Masalah demokrasi

           Demokrasi yang dianggap ideal selam ini adalah demokrasi ala amerika. Dari sini amerika merasa berkepentingan untuk menegakkannya,dan dalam pelaksanaannya terlihat bersifat subjektif dan diskriminatif .

Masalah kebebasan dan keterbukaan

          Di indonesia pengaruhnya begitu luas, salah satunya sadar atau tidak membangkitkan keberanian untuk menuntut kepada pemerintah agar memberi banyak kebebasan , pemerintah dijalankan secara demokratis dan transparan diawali akhir masa pemerintahan orde baru dan ini terus berjalan sampai sekarang.

Masalah hak asasi manusia

           Hak asasi manusia kita akui bersifat universal.namun pengertian , kriteria , dan pelaksanaannya juga belum ada kesepakatan , yang ada selama ini dominan menurut penafsiran amerika dan terus di gelorakan keseluruh dunia.
Selektif terhadap pegaruh globalisasi dibidang ekonomi
Misi yang diemban globalisasi dibidang ekonomi terutama adalah negara tanpa batas, perdagangan bebas , liberalisasi ekonomi , integrasi ekonomi dunia,dan kebebasan investasi.

        Alat yang dipakai melancarkan jalan guna mencapai tujuannya antara lain perjanjian-perjanjian multilateral,lembaga keuangan internasional seperti, bank dunia maupun kerja sama modal antar negara.
Selektif terhadap pengaruh globalisasi dibidang sosial budaya

         Ada pengaruh yang perlu kita seleksi itu antara lain sebagai berikut :
1.Sikap, pola, dan gaya hidup .
2.Penampilan dan gaya pakaian .
3.Dasar ikatan hidup bermasyarakat .
4.Paham rasionalisme,materialisme,dan sekulerisme.
3. Aspek dan Dampak Globalisasi dalam Kehidupan Bangsa dan Negara Indonesia.

          Globalisasi mencakup semua aspek atau bidang kehidupan, yaitu bidang politik, ekonomi, sosbud dan pertahanan keamanan. Globalisasi yang dikenal saat ini memiliki dampak positif dan negatif, yaitu:

a. Aspek Politik

           Dampak positif di bidang politik dengan adanya globalisasi yaitu diantaranya pemerintah yang ada dilaksanakan secara transparan, demokratis dan penuh kebebebasan. Dengan adanya keterbukaan akan dapat dicegahnya praktek KKN untuk menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dengan adanya pemerintahan yang demokratis akan meningkatkan partisiasi rakyat dalam pemerintahan. Rakyat akan percaya terhadap penguasa yang menjalankan pemerintahannya. Pemerintah akan memperoleh legitimasi dari rakyatnya. Masyarakat yang demokratis pun akan kritis terhadap jalannya pemerintahan. Dengan begitu akan ada check and balance, sehingga dapat dihindari adanya penyalahgunaan kekuasaan, maupun praktek pemerintahan yang menyeleweng dari konstitusi.
Disamping dampak positif, ada pula dampak negatif dari globalisasi. Dampak negatif dengan adanya globalisasi yaitu mampu membuka cakrawala berpikir masyarakat secara global.Sesuatu yang diterapkan di luar negeri, dapat mempengaruhi kita untuk mengikutinya. Padahal apa yang ada di luar negeri belum tentu sesuai dengan kehidupan dan tradisi bangsa kita. Sementara bila tidak mengikuti akan diaggap tidak aspirstif sehingga dapat megganggu kestabilan nasional., pertahanan dan ketahanan bahkan npersatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

b. Aspek Ekonomi

Globalisasi dalam bidang ekonomi mempunyai dampak positif  antara lain, yaitu:
1)      Makin terbukanya pasar Internasional bagi hasil produksi dalam negeri.
2)      Dapat meningkatkan kesempatan kerja dan devisa Negara
3)      Mendorong kita untuk meningkatkan kualitas produk yang tinggi.
4)      Mendorong para pengusaha untuk meningkatkan efisiensi dan menghilangkan biaya tinggi.

         Namun keberadaan globalisasi juga mempunyai dampak negatif bagi perekonomian bangsa Indonesia, antara lain yaitu:
Dengan keterbukaan perdagangan maka kita akan dibanjiri barang-barang dari luar. Bahkan apabila kita tidak bisa memproduksi barang lebih bagus dari barang-barang luar negeri, barang luar negeri bisa mengalahkan produksi dalam negeri, karena kualitas barang luar negeri lebih bagus dan lebih murah dibanding produksi bangsa sendiri. Mengakibatkan neraca perdagangan kita akan minus.
Dengan kebebasan masuknya investasi luar negeri dalam Negara kita, bisa jadi suatu saat mereka bisa mengendalikan dan menguasai perekonomian Indonesia.  Tidak berhenti dari itu, bahkan mereka dapat mendikte pemerintah atau bangsa kita.
Persaingan bebas mengakibatkan adanya kesenjangan antar pelaku ekonomi. Akan ada yang menang dan akan ada yang kalah. Yang tidak sesuai kepribadian bangsa kita. Yang menang akan mampu memonopoli dan yang kalah hanya akan tersisih dan menjadi penonton kegiatan perekonomian. Antara kaya dan miskin kesenjangannya akan tajam, sehingga melahirkan kelas-kelas ekonomi.

c. Aspek Sosial Budaya

          Di dalam aspek social budaya, globalisasi memberikan dampak positif dengan kita dapat mengambil atau belajar dari tatanan nilai sosial budaya, pola berpikir, serta cara hidup yang baik maupun teknologi, komunikasi serta ilmu pengetahuan yang lebih maju dari negara lain. Misalnya saja etos kerja yang tinggi, disiplin, tanggungjawab, mandiri, suka membaca, meneliti dan menulis, sportif, jujur, rasional, bahkan semua terprogram.

Globalisasi di bidang ini mempunyai pengaruh negatif pula, antara lain yaitu :
1)      Liberalisme akan tumbuh, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila.
2)      Munculnya hedonisme, paham mengenai suatu kenikmatan hidup sebagai nilai tertinggi. Hal trersebut memaksa manusia untuk memenuhi keinginan dan kenikmatan pribadi.
3)      Rasa kekaluargaan yang akan berkurang dengan adanya jiwa individualis.
4)      Kesenjangan social semakin tajam.
5)      Budaya-budaya tradisional kita akan tergeger oleh budaya negra lain.
d. Aspek Pertahanan dan Keamanan

         Dampak positif globalisasi dalam aspek pertahanan dan keamanan dapat dilihat dengan adanya hubungan kerjasama antar bangsa, khususnya bidang pertahanan dan keamanan baik kerjasama bilateral, regional. maupun internasional. Kerjasama memperkuat keamanan dan pertahanan wilayah regional, misalnya kerjasamam dengan negra-negara ASEAN dalam bidang kemiliteran, latihan perang bersama, pemberantasan jaringan narkoba, perjanjian ekstradisi, jaringan teroris dan semua kegiatan yang dianggap membahayakan negara. Misalnya saja dengan cara saling tukar informasi mengenai adanya ancaman dan gangguan keamanan akan lebih cepat diketahui sehinnga dapat diantisipasi lebih dini secara bersama-sama sebelum meluas dan mempunyai kekauatan yang besar.
Mengenai dampak negatifnya di bidang ini, globalisasi menjadikan kemajuan teknologi juga juga digunakan oleh jaringan penjahat internasional untuk beroperasi di berbagai negara. Penjahat-penjahat dari dalam negeri yaitu warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana misalnya saja korupsi, makar terhadap pemerintahan negara, membunuh dan sebagainya, mudah melarikan diri ke Negara lain dan menetap di sana bahkan para penjahat politik dapat memperoleh suaka politik. Hal ini sangat merugikan bagi bangsa Indonesia
Pengaruh hamkam

           Perubahan politik dunia yang terjadi di era globalisasi, telah menghadirkan suatu kompetisi antar bangsa. Kondisi tersebut cenderung mengarah pada perebutan pengaruh yang cukup ketat, baik global, regional maupun nasional. Perkembangan tersebut antara lain meyebabkan terjadinya perubahan pada situasi keamanan dunia dengan munculnya isu-isu keamanan baru.Di masa lalu, isu keamanan tradisional cukup menonjol, yakni yang berhubungan dengan geopolitik dan geostrategi, khususnya pengaruh kekuatan blok barat dan blok timur. Pada masa itu, kekhawatiran dunia terutama pada masalah pengembangan kekuatan militer dan senjata strategis serta hegemoni.
          Isu keamanan pada dekade terakhir ini makin kompleks dengan meningkatnya aktivitas terorisme, perampokan dan pembajakan, penyeludupan, imigrasi gelap, penangkapan ikan secara ilegal, dan kejahatan lintas negara lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan trsebut makin kompleks karena dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara yang sangat rapi, serta memiliki kemampuan teknologi dan dukungan finansial.
           Seiring dengan perkembangan global tersebut, di Indonesia berlangsung Gerakan Reformasi, bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis, bersih dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejauh ini reformasi nasional telah memberi isyarat perubahan positif dalam kehidupan masyarakat Indonesia, melalui penataan sistem pemerintahan, baik politik, hukum, ekonomi, 
sosial, maupun pertahanan serta keamanan dan ketertiban masyarakat.
          Di bidang pertahanan negara, perubahan mendasar yang terjadi telah mencakup aspek-aspek struktur, kultur dan hukum. Perubahan tersebut kemudian diwadahi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Isu keamanan pada dekade terakhir ini makin kompleks dengan meningkatnya aktivitas terorisme, perampokan dan pembajakan, penyeludupan, imigrasi gelap, penangkapan ikan secara ilegal, dan kejahatan lintas negara lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan trsebut makin kompleks karena dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara yang sangat rapi, serta memiliki kemampuan teknologi dan dukungan finansial.
Seiring dengan perkembangan global tersebut, di Indonesia berlangsung Gerakan              Reformasi, bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis, bersih dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejauh ini reformasi nasional telah memberi isyarat perubahan positif dalam kehidupan masyarakat Indonesia, melalui penataan sistem pemerintahan, baik politik, hukum, ekonomi, sosial, maupun pertahanan serta keamanan dan ketertiban masyarakat.

          Di bidang pertahanan negara, perubahan mendasar yang terjadi telah mencakup aspek-aspek struktur, kultur dan hukum. Perubahan tersebut kemudian diwadahi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Isu keamanan pada dekade terakhir ini makin kompleks dengan meningkatnya aktivitas terorisme, perampokan dan pembajakan, penyeludupan, imigrasi gelap, penangkapan ikan secara ilegal, dan kejahatan lintas negara lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan trsebut makin kompleks karena dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara yang sangat rapi, serta memiliki kemampuan teknologi dan dukungan finansial.
Seiring dengan perkembangan global tersebut, di Indonesia berlangsung Gerakan Reformasi, bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis, bersih dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejauh ini reformasi nasional telah memberi isyarat perubahan positif dalam kehidupan masyarakat Indonesia, melalui penataan sistem pemerintahan, baik politik, hukum, ekonomi, sosial, maupun pertahanan serta keamanan dan ketertiban masyarakat.
Di bidang pertahanan negara, perubahan mendasar yang terjadi telah mencakup aspek-aspek struktur, kultur dan hukum. Perubahan tersebut kemudian diwadahi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Isu keamanan pada dekade terakhir ini makin kompleks dengan meningkatnya aktivitas terorisme, perampokan dan pembajakan, penyeludupan, imigrasi gelap, penangkapan ikan secara ilegal, dan kejahatan lintas negara lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan trsebut makin kompleks karena dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara yang sangat rapi, serta memiliki kemampuan teknologi dan dukungan finansial.
Seiring dengan perkembangan global tersebut, di Indonesia berlangsung Gerakan Reformasi, bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis, bersih dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejauh ini reformasi nasional telah memberi isyarat perubahan positif dalam kehidupan masyarakat Indonesia, melalui penataan sistem pemerintahan, baik politik, hukum, ekonomi, sosial, maupun pertahanan serta keamanan dan ketertiban masyarakat.

            Di bidang pertahanan negara, perubahan mendasar yang terjadi telah mencakup aspek-aspek struktur, kultur dan hukum. Perubahan tersebut kemudian diwadahi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Isu keamanan pada dekade terakhir ini makin kompleks dengan meningkatnya aktivitas terorisme, perampokan dan pembajakan, penyeludupan, imigrasi gelap, penangkapan ikan secara ilegal, dan kejahatan lintas negara lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan trsebut makin kompleks karena dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara yang sangat rapi, serta memiliki kemampuan teknologi dan dukungan finansial.
Seiring dengan perkembangan global tersebut, di Indonesia berlangsung Gerakan Reformasi, bertujuan mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis, bersih dari praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejauh ini reformasi nasional telah memberi isyarat perubahan positif dalam kehidupan masyarakat Indonesia, melalui penataan sistem pemerintahan, baik politik, hukum, ekonomi, sosial, maupun pertahanan serta keamanan dan ketertiban masyarakat.
Di bidang pertahanan negara, perubahan mendasar yang terjadi telah mencakup aspek-aspek struktur, kultur dan hukum. Perubahan tersebut kemudian diwadahi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

=====================================================================
Sekian dan terimah kasih selamat membaca semoga bermanfaat bagi saudara saudari yang membutuhkannya.

Penerapan dan Pencapaian Desentralisasi di Indonesia

C.        Penerapan dan Pencapaian Desentralisasi di Indonesia
C.1      Sejarah dan Latar Belakang
C.1.1   Masa Sebelum Kemerdekaan

            Pada tahun 1903 Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Desentralisatie wet yang merupakan dasar hukum pertama berkaitan dengan desentralisasi di Indonesia. Saat itulah Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Undang-undang ini hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja.
            Sebelum Tahun 1903, seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan tersebut adalah Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone (Kausar, 2008).
            Perbedaan sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU Tahun 1903 terletak pada eksistensi Dewan Daerah. Sebelum itu,  tidak terdapat sama sekali otonomi pemerintahan daerah. Semua unit pemerintah bersifat administratif atas dasar prinsip dekonsentrasi. Setelah UU Tahun 1903 diterbitkan, didirikanlah Dewan Daerah pada unit-unit pemerintahan tertentu, di mana mereka diberikan kewenangan menggali pendapatan daerah guna membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh setempat, namun Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat  Pemerintah Pusat (Kausar, 2008).
            Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada pejabat-pejabat Belanda yang bekerja di Indonesia, dilakukan tahun 1922 dan kemudian diteruskan oleh Tentara Pendudukan Jepang pada saat Perang Dunia II  (Hardjosoekarto, 2008).
C.1.2   Masa Sebelum Reformasi 
            Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,diterbitkan pada 23 Nopember 1945, merupakan undang-undang pertama yang mengatur  mengenai pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada masa ini, otonomi diberikan kepada daerah adalah otonomi yang lebih luas dari jaman penjajahan.
            Sistem pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang ini adalah dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggota diangkat oleh Pemerintah Pusat. Untuk menjalankan roda pemerintahan daerah, Komite memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin Kepala Daerah.Kepala daerah menjalankan dua fungsi yaitu sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena itu kendatipun kehendak desentralisasi cukup nyata, pelaksanaan dekonsentrasi sangat dominan (Kausar, 2008). Namun tidak tersedianya penjelasan dari undang-undang ini menimbulkan kesimpangsiuran dalam penafsirannya. Untuk itu, Kementeraian Dalam Negeri menyiapkan penjelasan tertulis.
            Selanjutnya, dilakukan revisi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, yag diterbitkan pada 10 Juli 1948, yang menekankan otonomi sebanyak-banyaknya[1].  Selain itu, hal lainnya yang tercantum dalam undang-undang ini bahwa hanya dikenal satu bentuk satuan pemerintahan tingkat daerah yaitu pemerintahan daerah otonom, titik berat otonomi pada desa, susunan pemerintahan daerah menjadi hanya 3 tingkatan (dari sebelumnya 5), yaitu propinsi, kabupaten/kotamadya, dan desa/kota kecil (Tamin, 2012). Walaupun demikian, undang-undang ini lebih menekankan praktek demokrasi parlementer sesuai dengan sistem pemerintahan saat itu, dan kontrol pemerintah pusat kepada daerah masih sangat kuat.  (Hardjosoekarto, 2008).
            Terjadinya perubahan ketatanegaraan menjadi Negara Kesatuan Repubik Indonesia dibawah UUD Sementara 1950, melahirkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, yang menekankan sistem otonomi riil yang didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan nyata dari daerah. Namun, Kepala Daerah sama sekali tidak bertanggung jawab kepada Pemerintahan Pusat. Karena itu terjadi dualisme kepemimpinan, yaitu kepala daerah disatu sisi, dan pejabat pusat yang ditempatkan di daerah di sisi lain. Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1957 tidak berjalan lancar, bahkan mendapat tantangan kuat dari berbagai pihak.
            Tidak lama kemudian, negara kembali ke dasar ketatanegaraan UUD 1945,  yang ditindaklanjuti dengan penetapan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 pada 16 Nopember 1959, yang menekankan desentralisasi beralih kepada kontrol pemerintahan pusat yang kuat terhadap pemerintahan daerah (Hardjosoekarto, 2008). Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, Kepala Daerah bertanggungjawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat (Kausar, 2008).
            Penpres ini pun kemudian dianggap tidak sesuai Pasal 18 UUD 1945 yang menghendaki pengaturan melalui undang-undang. Selanjutnya ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. Sekali lagi arus balik terjadi dengan dikeluarkannya UU 18/1965. Keadaan politik waktu itu menunjukkan bahwa partai-partai mendapatkan kembali kekuasaan setelah masa sulit pada tahun 1950-an. Berdasarkan UU 18/1965, para eksekutif daerah diperbolehkan menjadi anggota partai. Berdasarkan ketentuan ini tumbuh loyalitas ganda Kepala Daerah yang tidak saja kepada Pemerintah Pusat tetapi juga kepada partai. Pada undang-undang ini lah diperkenalkan istilah propinsi, kabupaten dan kecamatan.
            Pada masa ini terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dan tuntutan pendirian daerah otonomi tingkat III yang berbasis pada Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan Parpol untuk mendapatkan dukungan politis dari grass-roots (Kausar, 2008).
            Namun kemudian undang-undang ini direvisi karena dianggap memberi otonomi seluas-luasnya, yang seharusnya berupa otonomi nyata dan bertanggungjawab. Hal inilah yang mendasari lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, yang juga mengatur pemerintahan daerah berdasar dekonsentrasi, selain memberi titik berat otonomi daerah pada kabupaten/kotamadya. Namun demikian, unsur sentralisasi lebih menonjol dari unsur desentralisasi (Tamin, 2012).
            Ada tiga prinsip dasar yang dianut  oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah). DPRD mempunyai kewenangan melakukan pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan akhir ada di tangan Pusat. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut pada satu sisi telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain, kondisi telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan otonominya, seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan, kelembagaan, personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah (Kausar, 2008). Undang-Undang ini lah yang paling lama berlakunya sampai sebelum masa reformasi
            Sementara itu, dibidang Perimbangan Keuangan sejak tahun 1956 telah dikeluarkan UU Nomor 23 Tahun 1956. Tetapi UU ini tidak dapat diberlakukan dengan baik oleh karena beberapa sebab, selain sebab-sebab teknikal juga sebab-sebab politis (Hardjosoekarto, 2008).
C.1.3  Pasca Reformasi
            Dimulainya otonomi daerah pada era reformasi di Indonesia ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang secara resmi dicanangkan per 1 Januari 2001. Sebagian ahli menyebut tahap ini sebagai fase pertama.
            Memasuki era reformasi, yang ditandai dengan kuatnya desakan perubahan secara signifikan terhadap hubungan pusat dan daerah, bisa dipastikan bahwa UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, menurut Pratikno (1999), digunakan untuk memuat dua misi utama, yaitu pertama, memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi di tingkat daerah. Ini diwujudkan dengan ‘desentralisasi politik’ dari pusat kepada daerah dan memberikan kesempatan dan kepuasan politik kepada masyarakat daerah untuk menikmati simbol utama demokrasi lokal (misalnya pemilihan Kepala Daerah). Kemudian, kedua, memuaskan daerah-daerah kaya sumber daya alam yang “memberontak” dengan memberikan akses yang lebih besar untuk menikmati sumber daya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.
            Secara umum terdapat perbedaan fundamental dengan Undang-Undang sebelumnya diantaranya, yaitu (i) dipisahkannya Kepala Daerah dengan DPRD; (ii) otonomi daerah secara utuh pada daerah kabupaten dan daerah kota; (iii) daerah propinsi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administrasi yang melaksanakan kewenangan pusat. Daerah propinsi bukan atasan dari daerah kabupaten dan daerah kota; (iv) penyelenggaraan asas dekonsentrasi hanya pada tingkat propinsi. (Tamin, 2012).
            Hoessein (2002) menjelaskan dengan panjang lebar perihal perubahan dalam
UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang tergolong perubahan yangradikal atau drastik dan bukan perubahan yang gradual. Oleh karena itu, konflik, krisis dan goncangan yang menyertai reformasi tersebut lebihbesar daripada serangkaian reformasi yang pemah terjadi sebelumnya. Dibandingkan denganreformasi pemerintahan daerah di berbagai negara berkembang lainnya pun reformasi pemerintahandaerah di Indonesia masih tergolong sangat besar. Reformasi pemerintahan daerah di Indonesiatergolong big bang approach. Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut dapat disimak daripergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah yang terjadi sebagai berikut
(i)        Structural efficiency modelyang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal ditinggalkan dan dianutlocal democracy modelyang menekankan, nilai demokrasi dan keberagaman dalampenyelenggaraan pemerintahan daerah;
(ii)       seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pulapergeseran dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi;
(iii)      dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser modelorganisasi yang hirarkis dan bengkak ke model organisasi yang datar dan langsing;
(iv)     hubunganantara Dati II dengan Dati I yang semula dependent dan subordinatekini hubungan antaraKabupaten/Kota dengan Provinsi menjadi independent dan coordinate. Pola hubungan tersebuttercipta sebagai konsekuensi perubahan dari dianutnya integrated prefectoral systemyang utuh keintegrated prefectoral systemyang parsial hanya pada tataran provinsi. Dianutnya integrated prefectoral systempada propinsi dengan peran ganda Gubemur sebagai KDH dan Wakil Pemerintah dimaksudkan untuk mengintegrasikan kembali daerah otonom yang secara desentralmemiliki karakteristik keterpisahan;
(v)       distribusi urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang semula dianut ultra-viresdoctrinedengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti dengan general competenceatau open end arrangementyang merinci fungsi pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan Provinsi;
(vi)     pengawasan Pemerintah terhadap daerah otonom yang sernula cenderung koersif bergeser ke persuasif agar diskresi dan prakarsa daerah otonom lebih tersalurkan. Konsekuensinya, pengawasan Pemerintah terhadap kebijakan Daerah yangsemula secara preventif dan represif, kini hanya secara represif;
(vii)    dalam keuangan daerah otonom,terjadi pergeseran dari pengutamaan specific grantke block grant;
(viii)   konsep Pemerintah Daerah yang semula mencakup KDH dan DPRD menurut UU No. 5Tahun 1974 kini konsep tersebut hanya merujuk kepada KDH dan Perangkat Daerah, sedangkanDPRD berada di luar Pemerintah Daerah. KDH yang semula tidak akuntabel terhadap DPRD kini diciptakan akuntabel;
(ix)     hubungan Pemerintah dan daerah otonom yang selama UU No. 5 Tahun1974 bersifat searah dari atas ke bawah diganti dengan model hubungan yang bersifat resiprokal.
            Pada masa ini juga dikeluarkannya  UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. 
            Selanjutnya bola salju otonomi daerah bergulir dan memasuki fase kedua yang ditandai dengan diterbitkannya 3 (tiga) Undang-Undang terkait dengan keuangan Negara yaitu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
            Walaupun usianya masih baru, namun telah banyak kritik ditujukan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 ini, diantaranya menurut Haris (2001) adalah (i)  ambivalensi propinsi sebagai daerah otonom dan wilayah administrasi; (ii) bias daerah kaya sumber daya alam; (iii) tidak ada mekanisme konstitusional bagi masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan lokal sehingga peluang munculnya kembali penyalahgunaan kekuasaan didaerah terbuka lebar. Sementara Hoessein (2002) dan Suwandi (2001)   menjabarkan terjadinya inkonsistensi antarbab (Hardjosoekarto, 2008).  
            Setidaknya terdapat dua hal yang mendorong perlunya dilakukan revisi terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 25 tahun 1999, yaitu
Pertama, pemerintah pusat tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, terdapat ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu begitu meruak di berbagai daerah.
            Selain itu, terdapat potensi permasalahan,  antara lain (i) terjadinya konflik kewenangan seperti di Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi lainnya; (ii) Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (iii) rekruitmen, pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme, pendekatan kedaerahan didahulukan; (iv) sarana dan prasarana organisasi terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (v) manajemen pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan) mendasar; (vi) dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula berbagai ekses antara lain peningkatan PAD yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas daerah dan penerimaan sah lainnya yang belum dioptimalkan; (vii) standar pelayanan minimum yang belum terumuskan dengan baik; dan (viii) DPRD dalam sistem perwakilan (baru) menjadi sangat berkuasa, Kepala Daerah (eksekutif) tersandera oleh Laporan Pertanggungjawaban (Kausar, 2008).
            Berbagai pengalaman dan pembelajaran yang ditemui sepanjang 5 tahun pelaksanaan otonomi daerah ini yang kemudian mendorong dilakukannya penyempurnaan terhadap regulasi yang ada, sehingga diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang masing-masing merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Tahapan ini disebut sebagai fase ketiga.   
Secara garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 didasarkan untuk penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan UUD 1945, Ketetapan dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan dengan undang­-undang bidang politik dan undang-undang lainnya. Di samping itu juga melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menimbulkan permasalahan, menyebabkan penafsiran ganda dan belum lengkap.       Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang tersebut secara substansial mengubah  beberapa paradigma penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontinum bukan bersifat dikotomis. Dalam pembentukan daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mengatur persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan.  Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin terselenggaranya pelayanan secara optimal.
            Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian urusan yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang dapat dikelola bersama antara pusat, provinsi, atau pun kabupaten/Kota. Pembagian urusan ini  diatur dalam pasal 11 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian urusan pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa.
            Dalam urusan bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.
            Selanjutnya agar penyediaan pelayanan kepada masyarakat mampu memenuhi ukuran kelayakan minimal, pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah harus berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah.
            Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Berdasarkan konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu, maka berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005.
            Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui fungsi legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.
            Banyak perbedaan diantara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, diantaranya
(i)    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sepertinya mengadopsi kembali rumusan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menyatakan otonomi daerah adalah hak sekaligus juga kewajiban daerah otonom. Sementara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya menyatakan sebagai kewenangan saja;
(ii) Menurut Mochtar (2012), salah satu perbedaan signifikannya adalah dalam perubahan paradigma dalam pelimpahan kewenangan/urusan antara pemerintah pusat dan daerah. Perubahan paradigma tersebut diwakili oleh penggunaan nomenklatur “kewenangan” pada UU Nomor 22 Tahun 1999 (pasal 7) sedangkan UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan nomenklatur “urusan” (pasal 10).
            Antara pembagian kewenangan dengan pembagian urusan jelas terdapat perbedaan yang mendasar. Secara yuridis, yang diartikan dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah isi dari kewenangan itu sendiri.Pola yang dikembangkan UU Nomor 22 Tahun 1999 adalah pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah, yang telah ditentukan kewenangan pemerintah, kewenangan propinsi dan kewenangan Kabupaten/Kota adalah kewenangan yang tidak temasuk kewenangan pemerintah dan propinsi. Dalam konteks ini UU Nomor 22 Tahun 1999 tidak memberi ruang kepada pemerintah pusat untuk mencampuri urusan yang telah menjadi kewenangan Propinsi, Kabupaten dan Kota. Propinsi tidak pula dapat mencampuri urusan-urusan Kabupaten/Kota.
            Titik tekan UU 22/1999 adalah pada kewenangan, yang menentukan apa-apa yang akan menjadi isi dari kewenangannya. Pola ini merangsang kreativitas dan prakarsa daerah menggali berbagai aktifitas dan gagasan guna mewujudkan pelayanan publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.
            Sedangkan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang diatur adalah pembagian urusan pemerintahan yang dituangkan khusus untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, titik penekanannya adalah pada pembagian urusan maka kewenangan daerah hanya sebatas urusan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan bertambah apabila ada penyerahan dari pemerintah. Artinya, kewenangan daerah bertambah hanya jika ada penyerahan urusan. UU Nomor 32 Tahun 2004 masih memaknai desentralisasi sebagai penyerahan wewenang, tetapi sesungguhnya hanya penyerahan urusan. Dan atas urusan yang diserahkan kepada daerah itu diberikan rambu-rambu yang tidak mudah untuk dikelola daerah dengan leluasa sebagai urusan rumah tangga sendiri.       
Secara umum, Hossein (2002) membagi periodisasi kebijakan desentralisasi sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang dalam setidaknya 7 periode sebagaimana disarikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Periodisasi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia
Kurun Waktu
Prinsip Otonomi dan Landasan Yuridis
1903
Sentralisasi
Decentralisatie Wet 1903;
Local Radenordonantie No.181 Thn 1905
1942-1945
Sentralisasi
Osamu Sirei No.27 Thn 2602 (1942)
1945-1959
Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
UU No.1 Tahun 1945
UU No.22 Tahun 1948
UU No.1 Tahun 1957
1959-1966
Otoriter, Sentralistik,Dekonsentrasi
Penpres No.18/1959
UU No.18/1965
1966 -1969/1971
Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
TAP MPRS No.21/1966
1971-1998
Otoriter, Sentralistik, Dekonsentrasi
TAP MPR No.IV/1973
UU No.5/1974
UU No.5/1979
1998- sekarang
Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi
TAP MPR No.IV/1998
UU No.22/1999
UU No.25/1999
UU No.32/2004
UU No.33/2004
Sumber: Diadopsi dari Hossein, 2002
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa, sampai kini, setidaknya telah dihasilkan tujuh undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004.
C.2      Otonomi Daerah dalam UUD 1945[2]
            UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia sejak awal telah menegaskan dianutnya prinsip otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu tercermin dalam amanat Pasal 18 UUD 1945 Sebelum Perubahan mengenai pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan adanya daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) dan pada daerah-daerah tersebut akan diadakan badan perwakilan sehingga pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
            Walaupun secara tegas UUD 1945 menghendaki adanya otonomi daerah, namun praktik penyelenggaraannya mengalami pasang surut. Bahkan kita pernah mengalami puncak-puncak sentralisasi seperti pada masa diterapkannya demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan Presiden Soekarno. Di awal Orde Baru, pemikiran pentingnya otonomi daerah sempat menguat dan menjadi salah satu kebijakan yang dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-Luasnya Kepada Daerah. Namun idealisme tersebut kembali pupus oleh kebijakan konsolidasi kekuasaan Orde Baru yang mengarah kepada sentralisasi yang diwujudkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
            Tuntutan pemberian otonomi daerah kemudian menjadi bagian dari agenda demokratisasi di era reformasi hingga lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya diganti dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Kembalinya otonomi daerah tidak hanya diwujudkan dalam bentuk hukum undang-undang, tetapi juga ditegaskan dalam UUD 1945 melalui perubahan yang dilakukan oleh MPR. Ketentuan tentang pemerintahan daerah yang semula hanya diatur dalam satu pasal tanpa ayat (Pasal 18), diperinci pengaturannya menjadi 3 Pasal (Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B), yang berisi 11 ayat.
            Dalam UUD 1945, perubahan tersebut diatur yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota, juga ditentukan bahwa masing-masing daerah tersebut mempunyai pemerintahan daerah yang mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas perbantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Untuk melaksanakan otonomi tersebut pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain (misalnya keputusan gubernur atau keputusan bupati/walikota).

C.3      Desentralisasi Fiskal di Indonesia[3]
C.3.1   Pentingnya Desentralisasi Fiskal
            Menurut Sidik (2002), tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat menjamin: (i) Kesinambungan kebijakan fiskal (fiskal sustainability) dalam konteks kebijakan ekonomi makro; (ii) Mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance) dan ketimpangan antara pusat dengan daerah (vertical imbalance) untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan pemerintah daerah; (iii) Dapat memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional; (iv) Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah; (v) Memperbaiki keseimbangan fiskal antar daerah dan memastikan adanya pelayanan yang berkualitas di setiap daerah; dan (vi) Menciptakan kesejahteraan sosial (social welfare) bagi masyarakat.
C.3.2   Periodisasi
            Sejarah sistem transfer di Indonesia dapat dibagi dalam 3 masa yaitu (i) periode sebelum Subsidi Daerah Otonom (SDO) (1945-1972), (ii) periode SDO; (iii) periode DAU.
Ø Periode sebelum SDO
     Periode ini terbagi dalam tiga bagian. Pertama (1945-1956). Pemerintah bertujuan memastikan pemerintah daerah mempunyai kemampuan untuk membiayai defisit mereka dengan subsidi pemerintah. Terbukti kemudian bahwa tujuan ini tidak tercapai. Kedua (1956-1964). Pemerintah memperkenalkan skema bagi hasil pajak. Pemerintah daerah mendapat porsi tertentu dari penerimaan pajak pemerintah. Ketiga (1965-1974). Pemerintah mengganti skema yang ada dengan subsidi langsungyang didasarkan pada kebutuhan pembayaran gaji oleh pemerintah daerah. Skema ini dikenal dengan sistem subsidi antarpemerintah yang kemudian menjadi dasar dari subsidi daerah otonom (SDO). Pada saat yang sama, pemerintah juga menggunakan beberapa skema yang lain seperti kontribusi pemerintah pada pemda, beberapa tipe dana bantuan pembangunan, dan bagi hasil sumber daya hutan, dan sewa lahan pertambangan.
Ø Periode SDO (1972-2001).
     SDO pertama kali diimplementasikan pada 1972/1973. SDO ditujukan untuk pembayaran gaji pegawai lokal. SDO bersifat mengikat dan ditujukan untuk mendukung kegiatan rutin. Untuk kegiatan pembangunan disediakan INPRES yang ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Terdapat berbagai bentuk INPRES, baik berbentuk dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus. SDO dan INPRES bertahan sampai diperkenalkannya DAU pada tahun 2001.
Ø Periode DAU.
     Desentralisasi fiskal di Indonesia mulai berkembang setelah tahun 1970-an dan dipuncaki pada tahun 1999 ketika dalam setahun Indonesia menjadi negara paling terdesentralisasi di dunia. Sumbangan pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah bertambah dua kali lipat dari tahun 2000 ke 2001. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran di berbagai kalangan. Walaupun kemudian ternyata berlangsung dengan baik.
     Perubahan tersebut tercantum dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut, sistem desentralisasi fiskal di Indonesia terdiri dari tiga sistem transfer antarpemerintah yaitu (i) bagi hasil sumber daya alam, pajak pendapatan perorangan dan properti; (ii) Dana Alokasi Umum (DAU); (iii) Dana Alokasi Khusus (DAK)[4].
C.3.3   Implikasi UU Nomor 33 Tahun 2004
            Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi dan desentralisasi, pemerintah telah melakukan revisi atas UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004.
       Menurut UU Nomor 25 Tahun 1999 tersebut, sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang sah. PAD terdiri dari komponen Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam yang dibagikan kepada daerah berdasarkan presentase tertentu. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, terjadi revisi mengenai dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, kini menjadi bagian dari DBH. DAK merupakan dana yang berasal dari APBN dan dialokasikan kepada daerah yang dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan khusus daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
       Menurut UU tersebut, pengaturan pembiayaan daerah dilakukan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD. Oleh karenanya, kepala daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.
       UU Nomor 33 Tahun 2004 mengubah pola bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan berlaku hingga saat ini. Subsidi Daerah Otonom dan Dana Inpres dihapuskan dan diganti dengan DAU. Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, DAU bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal imbalance). Jumlah DAU yang dibagikan minimal 26% dari penerimaan dalam negeri dan akan dibagikan kepada seluruh propinsi dan kabupaten/kota menurut suatu rumusan. Dalam UU tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa kriteria DAU didasarkan pada dua faktor penting, yakni kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi perekonomian daerah (fiscal capacity). Kemampuan fiskal yang dimaksud adalah kemampuan anggaran pemerintah yang bersangkutan dalam membiayai pemerintahannya, meliputi PAD, PPB, Bagi Hasil, PPh orang pribadi, Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PDRB, potensi SDM. Sedangkan besarnya kebutuhan daerah (fiscal needs) dilihat dari jumlah penduduknya, luas wilayah, keadaan geografis, dan tingkat kemakmuran masyarakat dengan memperhatikan kelompok miskin. Celah fiskal (fiscal gap), yang merupakan dasar penentuan DAU, adalah selisih antara fiscal capacity dengan fiscal needs. Dengan kata lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah lebih besar dari potensi penerimaan daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU akan lebih kecil kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal relatif besar. Sebaliknya perolehan DAU yang lebih besar akan diberikan kepada daerah-daerah dengan kemampuan fiskal relatif kecil. Dengan adanya konsep ini, beberapa daerah khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif.
       Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penurunan kemampuan daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, selain menggunakan formula fiscal gap perhitungan DAU juga menggunakan faktor penyeimbang yang terdiri dari: (a) lumpsum yang berasal dari sejumlah proporsi DAU yang akan dibagikan secara merata kepada seluruh daerah yang besarnya tergantung pada kemampuan keuangan negara; (b) transfer dari pemerintah pusat yang dialokasikan secara proporsional dari kebutuhan gaji pegawai masing-masing daerah. Dengan adanya faktor penyeimbang, alokasi DAU kepada daerah ditentukan dengan perhitungan formula fiscal gap dan faktor penyeimbang.
       Dengan begitu, kemampuan fiskal merupakan isu penting dan strategis, karena di masa mendatang pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi bahkan melepaskan ketergantungannya secara finansial kepada pemerintah pusat. Perlu dimengerti, karena tingkat ketergantungan finansial tersebut mempunyai hubungan terbalik dengan tingkat perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka untuk mengurangi ketergantungan finansial tersebut pemerintah daerah harus merancang dan menetapkan berbagai skim peningkatan PAD. Secara umum skim peningkatan PAD meliputi:
·         Intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah dalam bentuk pajak atau retribusi.
·         Eksplorasi sumber daya alam
·         Skema pembentukan capital (capital formation) atau investasi daerah melalui penggalangan dana atau menarik investor.
       Dari ketiga pilihan kebijakan ini, tampaknya skim menarik investor merupakan pilihan yang paling bersifat sustainable dan mempunyai multiplier effect yang bermanfaat, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan. Pilihan intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah, baik secara langsung maupu secara tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya high cost economy yang mengarah pada tekanan inflasi, sedangkan pilihan kedua, terutama jika sumber daya yang tersedia bersifat tak-terbarukan (non-renewable), akan terbentur pada persoalan keberlanjutan.
C.4   Kinerja dan Dampak
            Sejak dicanangkannya otonomi daerah pada tahun 2000, melalui diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terbentuk daerah otonom baru  sebanyak 205 buah yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 Kota. Dengan perkataan lain terjadi peningkatan  64% dari jumlah daerah otonom tahun 1998 atau secara rata rata dalam satu tahun lahir 20 daerah otonom baru  Sehingga daerah otonom menjadi sebanyak 524 unit (propinsi, kabupaten, kota) (Kemendagri, 2010).  Selengkapnya pada Tabel 2.
            Hasil evaluasi efektifitas pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah belum mencapai tujuan yang hakiki dari otonomi daerah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesimpulan ini merupakan hasil kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas pada tahun 2011. 
Tabel 2  Perkembangan Jumlah Daerah Otonom antara Tahun 1999 – 2010
JUMLAH DAERAH OTONOM
1999
               PERUBAHAN
2010
Jumlah provinsi
26
7
33
Jumlah kabupaten
234
164
398
jumlah kota
59
34
93
Jumlah Total Daerah Otonom(*)
319
205
524
Sumber: Harmantyo, 2011.
(*) Angka ini tidak termasuk provinsi DKI Jakarta dan 6 daerah administratif.

            Adapun indikator pengukuran efektifitas pelaksanaan otonomi daerah yang dipergunakan adalah sebagai berikut.
a.    Angka Kemiskinan. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah daerah yang berada di bawah garis kemiskinan tidak berkurang.
b.    Kualitas SDM. Kualitas sumber daya manusia masih belum memadai.
c.    Pemenuhan hak dasar.  Masih banyak anak-anak putus sekolah, diskriminasi layanan kesehatan masih banyak dijumpai. Berdasar data BPS, pada tahun 2009 masih banyak propinsi dengan indeks pembangunan manusia (IPM) jauh dibawah rata-rata nasional yaitu 19 propinsi.
d.    Lapangan kerja dan angka pengangguran. Angka pengangguran masih cukup tinggi.
e.    Pengembangan infrastruktur seperti jalan, penerangan dan air minum. Kondisi jalan dengan kualitas rusak berat, rusak ringan, dan tidak mantap jumlahnya masih signifikan. Masih terdapat sekitar 7 persen desa yang belum terlayani listrik. Masih sekitar 70 juta penduduk belum mendapat layanan air minum, bahkan perilaku buang air besar (BAB) masih dilakukan oleh sekitar 60 juta penduduk.
f.     Pemberdayaan ekonomi. Upaya penciptaan lapangan pekerjaan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
g.     Kualitas pengelolaan pemerintahan berdasar prinsip Kepemerintahan yang Baik (Good Governance). Manurut hasil riset Booz-Allen dan Hamilton pada tahun 1999, menunjukkan bahwa Indonesia masih masuk dalam kategori poor governance. Tertinggal dibanding Negara Asia Tenggara lainnya.
          Terlepas dari perdebatan tentang dampak positip dan negatip dari otonomi daerah, setidaknya berbagai kalangan mempercayai terdapat banyak hal positip dari penerapan konsep otonomi daerah di Indonesia, diantaranya (i) semakin meningkatnya tingkat kemandirian dan kemampuan daerah dalam mengelola pembangunan ekonomi daerahnya, ditunjukkan dari terjadinya perencanaan ekonomi daerah yang lebih mempertimbangkan aspirasi masyarakat di daerah (bottom-up planning), peningkatan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan; (ii)  perkembangan perekonomian yang signifikan, ditandai dengan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),  pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, serta semakin membaiknya fungsi intermediasi bank umum. Walaupun secara regional masih terdapat propinsi justru memperoleh dampak negatif.
            Sementara hasil kajian IRDA (2002) menunjukkan desentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi penting, yaitu (i) meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal; (ii) perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin kuat dalam pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari masyarakat agar mereka meningkatkan kualitas pelayanan publik; dan (iii) pemerintah daerah saling bekerjasama dan berbagi informasi untuk menyelesaikan persoalan yang sama-sama mereka hadapi. Walaupun demikian,  SMERU (2002) mengungkap fakta banyaknya daerah yang memberlakukan berbagai pungutan baru yang berpotensi menghambat iklim investasi dan gairah bisnis lokal (Utomo, 2010).
          Di sisi lain, dampak negatif juga terjadi diantaranya (i) banyak kebocoran (korupsi) dan penggunaan anggaran yang tidak efisien dan efektif; (ii) terbukanya potensi kegaduhan yang disebabkan oleh ketidaksiapan daerah dan ketidaklengkapan desain regulasi untuk mengimplementasikan proses desentralisasi, berupa desentralisasi KKN dan duplikasi Perda yang justru berlawanan dengan spirit otonomi daerah. Jika sebelumnya watak KKN lebih bersifat vertikal dengan institusi di atas mengambil bagian yang paling besar, maka sejak era otonomi watak KKN lebih bersifat horizontal dengan setiap lini penyelenggara pemerintah (daerah) mengambil bagian yang sama. Contoh lainnya, pemerintah daerah mencoba meningkatkan penerimaan daerah akibat orientasi kepada PAD yang berlebihan. Masalahnya adalah, peningkatan PAD tersebut dibarengi dengan kebijakan-kebijakan duplikatif sehingga sangat memberatkan masyarakat dan pelaku ekonomi pada khususnya[5]. Sebagian besar Perda-perda tersebut dianggap menjadi penyebab munculnya high cost economy (ekonomi biaya tinggi) sehingga tidak mendukung upaya peningkatan iklim usaha di Indonesia, baik dalam bentuk pajak, retribusi, maupun non-pungutan. Pada kasus ini tentu saja pemerintah daerah telah berperan sebagai pencari rente (Rent-Seeker) (Sari dkk, 2012).
          Temuan lain oleh Hidayat (2003), bahwa kebijakan desentralisasi juga tak luput dari serangkaian permasalahan seperti  munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya oligarki politik oleh elit lokal maupun gejala pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat.
C.5      Isu, Tantangan dan Kendala
            Memperhatikan pengalaman pelaksanaan otonomi daerah, dapat dikategorikan beberapa isu utama yang perlu mendapat perhatian, diantaranya adalah.
Ø  Tumpang tindih regulasi sektoral dan desentralisasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
            Berdasarkan kajian Direktorat Otonomi Daerah Bappenas (2011), terdapat 87 regulasi sektoral yang mengatur 31 urusan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Setidaknya 29 bidang urusan diantaranya tumpang tindih. Lihat Tabel berikut
Tabel 3.
Peraturan Perundangan pada 31 Sektor yang Terkait dengan Desentralisasi


1 Pengertian sebanyak-banyaknya pada dasarnya sama dengan otonomi seluas-luasnya.
[2] Sub Bab C.2 mengutip sebagian besar, dengan beberapa penyesuaian, dari Makalah Akil Mochtar berjudul Permasalahan Aktual Penerapan Kebijakan Otonomi Daerah (2012).
[3]Bagian ini sebagian besar mengutip dari Bambang Brodjonegoro dan Jorge Martinez-Vazquez. An Analysis of Indonesia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospects. Makalah pada Konperensi bertema Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?, 2002.

[4]Pada saat studi ini dilakukan, UU No. 25 Tahun 1999 mengalami revisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Namun secara garis besar tidak terjadi perubahan mendasar dalam sistem desentralisasi fiskal Indonesia. Namun demikian, implementasi kebijakan belum dapat dijelaskan.
[5]Menteri Keuangan pada tahun 2003 telah merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mencabut 206 Perda di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Perda yang bermasalah pada level kabupaten pada tahun 2006 bahkan mencapai 65,63% dari seluruh total Perda yang diproduksi, sedangkan pada level propinsi dan kota di bawah 22%. (Jatmiko, 2010)