PERESMIAN BLOGGER ALEXANDER UMBU GODA

Alexander umbu goda secara resmi hari ini tanggal 05 october 2013 telah memutuskan untuk menetapkan sebuah lencana dalam blog ini yang saya beri nama Peresmian Bloger Alexander

Rabu, 27 Agustus 2014

Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia:
Konsep, Pencapaian dan Agenda Kedepan

Oleh Alexander Umbu Goda


A.       Pengantar

            Pelaksanaan konsep desentralisasi dan otonomi daerah telah berlangsung lama bahkan sejak sebelum kemerdekaan, dan mencapai puncaknya pada era reformasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan yang kemudian direvisi masing-masing menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
            Walaupun demikian, penerapan konsep desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia sampai saat ini dianggap masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Masih ditemukan banyak kelemahan dalam pelaksanaannya, baik dari kelengkapan regulasi, kesiapan pemerintah daerah, maupun penerimaan masyarakat sendiri.
            Terlepas dari itu semua, desentralisasi dan otonomi daerah telah menjadi suatu keniscayaan dengan mempertimbangkan amanat UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia yang telah menegaskan hal tersebut. Dengan demikian, menjadi lebih berharga  kemudian meninjau kembali pencapaian selama ini dan merumuskan agenda desentralisasi dan otonomi ke depan. Dengan keterbatasan yang ada, tulisan ini pada intinya mencoba merumuskan agenda tersebut.
            Secara umum, pembahasan terbagi dalam 3 (tiga) bagian besar yaitu menyajikan konsep desentralisasi dan otonomi daerah dan pencapaiannya, untuk kemudian diakhiri dengan rumusan agenda ke depan.
B.         Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Konsep dan Penerapannya
B.1       Pengertian dan Filosofi
            Secara formal, berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Sementara otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004)

Sedikit berbeda dengan pengertian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai pertauran perundang-undangan. 

Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation of authority. Dengan demikian, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi. Berbeda ketika pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator. Sebagai konsekuensinya bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud. Semua beralih menjadi tanggungjawab daerah otonom, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat
            Walaupun demikian, menurut Devas (1997), pengertian dan penafsiran terhadap desentralisasi ternyata sangat beragam, dan pendekatan terhadap desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain. Tetapi, secara umum definisi dan ruang lingkup desentralisasi selama ini banyak diacu adalah pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999), bahwa desentralisasi adalah transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta. Sebagai pembanding, baik juga mengacu pendapat Turner dan Hulme (1997) yang berpendapat bahwa desentralisasi di dalam sebuah negara mencakup pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani.
            Desentralisasi merupakan alat mencapai tujuan pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan yang lebih demokratis.
            Menurut Suwandi (2005), filosofi dari otonomi daerah adalah (i) eksistensi pemerintah daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis; (ii) setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan demokrasi; (iii) kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik; (iv) pelayanan pubik dapat bersifat pelayanan dasar maupun bersifat pengembangan sektor unggulan.

B.2       Tujuan Desentralisasi
            Terdapat 3 (tiga) tujuan desentralisasi , yaitu (i) tujuan politik, untuk menciptakan suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratik berbasis pada kedaulatan rakyat. Diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, dan
legislatifsecara langsung oleh rakyat; (ii) tujuan administrasi, agar pemerintahan daerah yang dipimpin oleh kepala daerah dan bermitra dengan DPRD dapat menjalankan fungsinya untuk memaksimalkan nilai 4E yakni efektifitas, efisiensi, equity (kesetaraan), dan ekonomi; (iii) tujuan sosial ekonomi, mewujudkan pendayagunaan modal sosial, modal intelektual dan modal finansial  masyarakat  agar tercipta kesejahteraan masyarakat secara luas (Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2010). 
B.3       Faktor Pendorong
            Beberapa faktor mendorong terjadinya desentralisasi khususnya di negara berkembang antara lain berupa (i) kemunduran dalam pembangunan ekonomi, (ii) tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, (iii) tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara (Asia Selatan dan Bosnia), serta (iv) kegagalan pemerintah sentralistik memberikan pelayanan publik yang efektif (Siddik, 2002). Selain itu berkembangnya sistem multi partai di Afrika, membaiknya demokrasi di Amerika Latin, transisi dari sistem ekonomi terpimpin ke sistem ekonomi pasar di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet (Litvak dkk, 1998)
B.4       Elemen Dasar
            Otonomi daerah mempunyai 7 (tujuh) elemen dasar, yaitu kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik dan pengawasan (Suwandi, 2005).
B.5       Kategori Desentralisasi
            Rondinelli (1989) mengklasifikasikan desentralisasi berdasar tujuannya menjadi empat bentuk, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi pasar, dan desentralisasi administratif.
(i)            Desentralisasi potitik, digunakan oleh pakar ilmu politik yang menaruh perhatian di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil untuk mengidentifikasi transfer kewenangan pengambilan keputusan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah atau kepada masyarakat atau kepada lembaga perwakilan rakyat.
            Dengan demikian desentralisasi politik juga melimpahkan kewenangan pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, mendorong masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat bawahan merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara independen, tanpa intervensi dan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
                        Desentralisasi politik bertujuan memberikan kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan kepada masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh masyarakat sehingga dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan dan implementasi kebijakan. Biasanya desentralisasi dalambidang politik merupakan bagian dan upaya demokratisasi sistem pemerintahan.
            Alasan teoritis yang paling sering dikemukakan tentang pentingnya desentralisasi adalah untuk mempertahankan efisiensi alokasi ketika berhadapan 

(i)            Desentralisasi pasar, umumnya digunakan oleh para ekonom untuk menganalisis dan melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui mekanisme pasar yang sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar barang-barang dan pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan menengah, kelompok masyarakat, koperasi, dan asosiasi swasta sukarela. desentralisasi ekonomi, bertujuan lebih memberikan tanggungjawab yang berkaitan sektor publik ke sektor swasta.
(ii)          Desentralisasi administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli hukum dan pakar administrasi publik untuk menggambarkan hierarki dan distribusi kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit pemerintah non pusat (sub-national government). Desentralisasi administratif, memiliki tiga bentuk utama yaitu dekonsentrasi, delegasi dan devolusi, bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan efektif dan efisien
(iii)        Desentralisasi fiskal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah untuk menggali berbagai sumber dana, meliputi (Pakpahan, 2006) pembiayaan mandiri, dan pemulihan biaya dalam pelayanan publik, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat, transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil, kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah.

B.6       Pertimbangan Utama Pentingnya Desentralisasi
            Beberapa ahli seperti Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995) menyatakan bahwa pelayanan publik paling efisien ketika diselenggarakan di tingkatan terdekat dengan masyarakat karena (i) pemerintah lokal sangat memahami kebutuhan masyarakatnya; (ii) pemerintah lokal efisien dalam penggunaan dana masyarakat; dan (iii) persaingan antardaerah akan meningkatkan inovasi.
            Model Tiebout (1956) dengan ungkapannya “love it or leave it” menekankan bahwa pilihan masyarakat akan selalu dilakukan untuk memenuhi preferensinya dengan mempertimbangkan kualitas pelayanan dan besaran pajak yang harus dibayar. Ketika preferensi tidak terpenuhi maka pilihannya adalah pergi atau tetap tinggal dan berusaha merubah kondisi yang ada melalui DPRD (Hyman, 1993). Model ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan tercapainya efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal sehingga pasar barang publik lokal bersifat persaingan sempurna (Tresch, 1981; Aronson, 1985; Stiglitz, 1988). 
Alasan teoritis yang paling sering dikemukakan tentang pentingnya desentralisasi adalah untuk mempertahankan efisiensi alokasi ketika berhadapan dengan beragam preferensi terhadap barang publik lokal (Musgrave, 1983; Oates, 1972; Tiebout, 1956). Masalah timbul berkaitan dengan koordinasi, yang pada dasarnya mahal (Breton dan Scott, 1978) ketika limpahan antardaerah menjadi penting, termasuk stabilisasi dan distribusi (Tresch, 1978) (Litvak, 1998).
            Walaupun demikian, masih banyak ketidaksepakatan, baik teoritis maupun empiris, tentang desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi (Martinez-Vazquez dan McNab, 1997; Zhang dan Zou, 1998), termasuk juga efektifitas distribusi. Beberapa analis menyatakan bahwa pemerintah lokal mencapai tujuan lebih efektif dibanding pusat (Pauly, 1973), sementara lainnya menyatakan bahwa distribusi oleh pusat dibutuhkan untuk keefektifan (Musgrave, 1983) dan menghadapi bias oleh elite lokal (Wilensky, 1974; Inman dan Rubienfield, 1997). Selain itu, pandangan lain menjelaskan bahwa sebaik apapun usaha pemerintah lokal dalam konteks distribusi, maka mereka akan dihadang oleh mobilitas sumber daya dan keterbukaan ekonomi lokal (Buchanan dan Wagner, 1971).
            Sementara alasan ekonomi desentralisasi adalah untuk memperbaiki kemampuan bersaing pemerintah yaitu pemerintah lokal berusaha memenuhi keinginan masyarakat (Breton, 1996; Salmon, 1987). Hanya terdapat sedikit bukti empiris terhadap ide ini.
Melalui desentralisasi, kesejahteraan masyarakat di daerah akan lebih cepat terwujud karena pemerintah daerah akan lebih fleksibel bertindak dalam respons perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi juga lebih melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan ketimbang menunggu keputusan dari pemerintah pusat sehingga kehidupan demokrasi lebih terwujud, lebih memberi ruang untuk berkreasi dan berinovasi, dan menghasilkan semangat kerja, komitmen dan produktivitas yang lebih tinggi (Osborne dan Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998).  Selain itu, preferensi penduduk lebih terakomodasikan (Oates 1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999), tingkat akuntabilitas ditingkat lokal akan menjadi lebih baik karena lebih mudah mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah daerah terhadap dewan perwakilan setempat (Peterson, 1997), manajemen fiskal menjadi lebih baik (Meinzen-Dick, Knox and Gregorio 1999), dan tingkat pertumbuhan ekonomi dan jaminan pasar akan menjadi lebih baik (Wibbels 2000). Pendek kata, cukup banyak literatur sangat optimis bahwa tingkat efisiensi menjadi lebih baik, tingkat korupsi juga akan berkurang (Fisman, dkk. 2002), dan akan terjadi peningkatan demokratisasi dan partisipasi (Crook and Manor 1998).

B.7      Pembelajaran Penerapan Desentralisasi di Mancanegara
            Desentralisasi dapat berdampak pada mobilisasi sumber daya, stabilitas ekonomi makro, penyediaan layanan, dan kesetaraan (equity). Potensi ketidakstabilan ekonomi makro oleh desentralisasi menjadi perhatian (Prud’homme, 1995; Tanzi, 1996; Ter-Minassian, 1997). Pada negara yang telah terdesentralisasi, menjadi suatu hal yang biasa ketika terjadi kaitan antara desentralisasi dan ketidakseimbangan fiskal di tingkat lokal (Wallich, 1994). Setidaknya tiga studi Bank Dunia membuktikan hal ini. 
Desentralisasi dapat mempengaruhi kesetaraan (equity) penduduk (interpersonal) melalui kebijakan pembiayaan publik, pajak, dan desain transfer antarpemerintah. Jika kebijakan pembiayaan publik mengarah pada penyediaan layanan pada penduduk kaya, beban pajak lebih besar pada penduduk miskin, dan desain transfer mengabaikan penduduk miskin maka kesetaraan akan terganggu (Litvak, 1998). Sementara desentralisasi dapat mempengaruhi kestabilan ekonomi makro, ketika terjadi defisit pada anggaran pemerintah lokal. 
             Tidak hanya itu saja, menurut Utomo (2010), berdasar pembelajaran pelaksanaan desentralisasi di seluruh dunia, dampak lainnya dapat berupa pencegahan dan pemberantasan korupsi (Arikan 2004; Fjeldstad 2004; Fisman 2002), pengurangan kemiskinan (Braathen 2008; Crook 2001; UNDP 2000; Moore dan Putzel 1999), peningkatan kualitas pelayanan (World Bank 2001; Kolehmainen-Aitken 1999; McLean 1999, Dillinger 1994), memperkuat akuntabilitas (World Bank, 2000), resolusi konflik (Sasaoka 2007), ataupun pemberdayaan masyarakat (Brinkerhoff 2006). Namun, dampak negatif desentralisasi juga terpantau berupa kesenjangan wilayah, memunculkan egoisme kedaerahan dan klientilisme, atau menggelembungkan struktur birokrasi (Cornelius 1999; Fox and Aranda 1996; Rodden 2000; Rodden and Wibbels 2002; Stein 1998, dikutip dari Falleti 2004). Kajian Treisman (2000), Oyono (2004) mengungkapkan hal seperti kinerja pemerintah daerah tidak meningkat, partisipasi dan demokratisasi juga tidak membaik. Justru meningkatkan kesempatan untuk ‘rent-seeking’ dan korupsi.Dengan demikian, desentralisasi memiliki dua wajah, positif dan negatif.
            Dua wajah desentralisasi juga diungkapkan oleh Burki, Perry dan Dillinger (1999). Dari sisi kemanfaatan, desentralisasi dapat lebih tepat meningkatkan efisiensi dan daya tanggap pemerintah melalui pemenuhan layanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi rakyat. Selain itu, desentralisasi dapat membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antarpemerintah daerah untuk mencapai kepuasan masyarakat yang lebih tinggi. Namun disisi lain, kualitas pelayanan publik sering menjadi korban karena transfer kewenangan sering disalahartikan atau disalahgunakan oleh elite lokal yang relatif kurang memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan.

Tidak ada komentar: