PERESMIAN BLOGGER ALEXANDER UMBU GODA

Alexander umbu goda secara resmi hari ini tanggal 05 october 2013 telah memutuskan untuk menetapkan sebuah lencana dalam blog ini yang saya beri nama Peresmian Bloger Alexander

Jumat, 31 Januari 2014

Kosepsi arsitektur pulau sumba Alexander Umbu Goda



KONSEPSI ARSITEKTUR

Penulis   : Alexander Umbu Goda
Topic       : Konsepsi Arsitektur Pulau sumba
Sumber   : Informasi Tourist departement
                    SMK NEGERI 1 WAIKABUBAK
ditulis      : juli 2012 
diperbaharui  : Rabu 03 september 2014
lokasi      : Denpasar- BALI. 
=======================================================================


         MENURUT Salaen yang dikutip A.A.Ray Geria dan I Gusti Ayu Armini (2010) dalam jurnal berjudul Arsitektur Tradisional Rumah Adat Sumba di Waikababak Kabupaten Sumba Barat, arsitektur bukan hanya sekedar wujud dan perilaku budaya masyarakat, tetapi merupakan penanda zaman yang dipengaruhi oleh tempat, iklim, bahan, ilmu pengetahuan, teknologi, pemerintahan, kepercayaan dan tradisi suatu masyarakat. Dan jika dicermati, keseluruhan rancangan rumah adat Sumba merupakan refleksi norma dan ide-ide, adat istiadat dan status sosial, pengelompokan gender, kelompok kekerabatan dan tentu saja keterkaitan dengan alam. Ide-ide tentang kelompok kekerabatan, satus sosial dan adat istiadat, sudah terangkum dari pembahasan sebelumnya, dimana bagi orang Sumba, rumah tradisional atau lebih tepat disebut rumah adat, bukan sekedar tempat tinggal semata tapi sekaligus berfungsi sebagai identitas kelompok serta pusat kehidupan sosial dan seremonial. Sementara ide tentang norma, pengelompokan gender dan keterkaitan dengan alam akan terlihat pada uraian selanjutnya Rumah adat Sumba berbentuk panggung, dilengkapi menara yang membumbung tinggi seolah hendak menggapai langit. Hal ini, sebagaimana diyakini sebagian orang, merupakan perlambang hubungan harmonis antara manusia dan Sang Pencipta. Rumah adat Sumba aslinya dibangun tanpa paku, bagian-bagiannya ditautkan satu sama lain menggunakan pasak serta tali kayu (kalere) atau rotan (uwe).


         Seluruh berat rumah sedangkan kegunaan praktisnya adalah sebagai gelang anti tikus agar hewan pengerat tersebut tidak bisa memanjat ke loteng tempat menyimpan hasil panen. Masing-masing tiang utama memiliki nama dan fungsi tersendiri. Beda kampung beda lagi namanya, tapi dari segi fungsi pada prinsipnya sama saja. Tiang yang terletak di sebelah kanan depan (parii urat) biasanya merupakan tiang yang paling diutamakan karena dipercaya sebagai tempat lalu lalang marapu pendiri rumah. Melalui tiang ini manusia dapat berhubungan dengan leluhurnya untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan. Tiang kanan belakang merupakan kediaman roh-roh leluhur yang lebih kemudian. Roh-roh ini dipercaya selalu mengawasi pintu utama, sehingga ada pula yang menyebut tiang tempat mereka berdiam sebagai tiang penjaga kabisu. Tiang Ketiga yang terletak disebelah kiri depan dan tiang ke empat di belakangnya memiliki makna yang kurang lebih sama dengan pasangan mereka di sebelah kanan, tetapi ditujukan untuk leluhur dari pihak perempuan (loka). Karena terletak di dekat area dapur, tiang keempat kerap pula dijuluki tiang penjaga api. Makna lain keempat tiang utama adalah manifestasi empat arah mata angin: utara, selatan, barat dan timur, dengan tungku api yang berada tepat di tenganhya sebagai simbol matahari. ditopang oleh empat tiang utama (parii kalada) yang terbuat dari kayukayu khusus seperti masela, kawisu, lapale atau ulu kataka, serta tiangtiang penyangga yang lebih kecil.


            Keempat tiang utama, terutama tiang pertama di dekat pintu masuk, merupakan elemen arsitektur rumah adat Sumba yang paling penting, setidaknya dari sisi religius. Masing-masing tiang dilingkari cincin besar dari kayu (labe), sehingga jika dilihat secara keseluruhan, tiang dan cincin ini agak mirip lingga dan yoni, konsepsi seksual Hindu yang melambangkan kesuburan. Dari sisi religius labe berfungsi sebagai tempat meletakkan persembahan,


           BEBERAPA nara sumber menyebut rumah adat Sumba sebagai 'rumah tiga alam' karena dari segi arsitektur dan kegunaan memang terbagi menjadi tiga bagian

yaitu:Toko Uma, Bei Uma, dan Kali Kabunga.

1. Toko Uma

         Secara harafiah Toko Uma berarti tongkat rumah, dan dalam konteks ini berwujud menara tinggi dengan atap alang-alang. Jauh di puncak menara, tepatnya di pojok kiri dan kanannya, tersemat duatonggak kayu berukiran manusia yang disebut dengan istilah kadu uma (tanduk rumah). Kadu Uma adalah simbol Ina-Ama (Ibu-Bapak), yaitu pasangan leluhur pendiri rumah yang hidup berdampingan dan mengawasi segalanya. Toko Uma menjalankan fungsi praktis dan religiusnya sendiri yaitu sebagai tempat persemayaman marapu dan sebagai tempat menyimpan hasil panen, harta pusaka dan benda berharga lainnya.










2. Bei Uma
            Bei Uma merupakan bagian rumah tempat hunian.Dinding dan lantainya terbuat dari bambu (walau kini banyak juga dinding rumah yang menggunakan bilah papan). Bei Uma terbagi menjadi area luar berupa beranda luas yang cenderung berfungsi sebagai area publik, dan area dalam tempat berlangsungnya aktivitas domestik. Area dalam sedikit lebih tinggi dari beranda, dan untuk mencapainya tersedia anak tangga dari tanduk kerbau yang langsung terhubung ke pintu masuk. Ada dua pintu masuk, satu untuk laki-laki dan satunya lagi untuk perempuan. Tanduk kerbau juga kerap digunakan sebagai hiasan dinding beranda. Hiasan lainnya berupa rahang babi yang digantung berjajar di sepanjang tepi atap. Hiasan-hiasan ini adalah peninggalan hewan korban yang disembelih saat berlangsung pesta adat. Makin banyak hiasannya berarti telah banyak pesta yang digelar si empunya rumah, dengan demikian menjadi lambang prestise juga. Bagian dalam rumah, baik secara simbolis maupun fungsional, terbagi menjadi dua bagian: bagian untuk laki-laki yang lebih formal dan religius (mbale katounga) serta bagian untuk wanita yang lebih ke urusan rumah tangga (kere pandalu). Mbale katounga berwujud bale-bale panjang yang terentang mulai pintu masuk laki-laki hingga ke ujung uma (menara/loteng). Ruang di antara ke dua pintu masuk digunakan sebagai gudang (hadoka) atau sebagai kamar terpisah bagi anak yang telah menikah. Sementara ruang
di antara koro ndouka dan ujung belakang mbale katounga adalah ruang tambahan yang memiki sejumlah fungsi. Anggota keluarga yang sakit biasanya beristirahat di ruang ini, pengantin wanita didandani di sini, dan para ibu melahirkan bayi mereka juga di ruangan yang disebut halibar ini. Ruang-ruang tersebut di atas jarang memiliki partisi permanen, satu sama lain hanya dipisahkan oleh bale-bale pendek sehingga jika tampak sekilas, interior rumah Sumba bagaikan sebuah ruang terbuka lebar.

3. Kali Kabunga

          Merupakan kolong rumah yang sekelilingnya diberi pagar, berfungsi sebagai kandang ternak dan tempat menyimpan kayu bakar. SIMBOLISASI RUMAH ADAT BANYAK orang Sumba memandang rumah adat mereka sebagai simbolisasi tubuh manusia yang terdiri dari kepala, badan dan anggota tubuh, serta terbagi menjadi laki-laki dan perempuan. Bagian kepala dilambangkan dengan atap atau menara (toko uma). Dan sebagaimana kepala yang merupakan tempat beradanya otak (pusat kehidupan atau jiwa manusia) menara rumah orang Sumba juga dianggap sebagai tempat beradanya jiwa keluarga. Disinilah hasil ladang sebagai sumber kelangsungan hidup badaniah disimpan, juga harta benda pusaka yang merupakan sumber kehidupan ruhaniah (spiritual). Bagian badan dilambangkan dengan bagian rumah tempat hunian (bei uma). Badan manusia memiliki organ-organ penting seperti hati serta jantung, begitu juga bei uma. Hati diidentikkan dengan leki atau para-para yang terletak menggantung di antara belakang rumah. fungsinya beragam, sebagai tempat pertemuan formal, tempat pemujaan serta area tidur. Sementara kere pandalu, yang berfungsi sebagai tempat menyiapkan makanan dan tempat menyimpan berbagai alat rumah tangga, terentang mulai pintu masuk perempuan hingga sepertiga panjang rumah, seperempat sisanya merupakan ruang tidur pemilik rumah (koro ndouka). Mbale katounga dan kere pandulu dipisahkan oleh area dapur (robukadana) yang terletak persis ditengah ruangan, diapit oleh ke empat tiang utama. Di tengahnya ada tungku api, dan diatas tungku api tergantung leki atau para-para. Leki terbagi dua: leki kii (para-para kecil) tempat menyimpan makanan matang, dan leki kalada (para-para besar) tempat menyimpan peralatan dapur. Leki merupakan batas tertinggi bei uma, lebih ke atas lagi ada uma dana yaitu pelataran tempat menyimpan hasil panen dan harta pusaka keluarga yang merupakan bagian toko empat tiang utama. 

            Karena berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan masak dan makanan matang, leki dianggapap sebagai penunjang kelangsungan hidup yang penting. Sementara jantung identik dengan robukadana yaitu tungku api serta dapur yang terletak tepat di tengah-tengah rumah, dan dianggap sebagai pusat penggerak kehidupan. Bagian kaki dilambangkan dengan tiang-tiang penopang, terutama 4 tiang utama dan 16 tiang penyangga, serta tiang-tiang penunjang lainnya. Sementara konsep gender tampak pada pembagian ruang-ruang. Ada Bale katounga (ruang untuk laki-laki) dan ada Kere pandalu (ruang untuk perempuan). Konsep gender juga terlihat jelas pada kadu uma (tanduk rumah), simbol suami dan istri yang berada di puncak menara rumah. Menurut A.A. Rai Geria danI Gusti Ayu Armini (2010) konsep gender dalam rumah adat Sumba bisa dilihat sebagai simbol hubungan spiritual dua kutub berlawanan yang bersifat oposisi biner. Misalnya langit dan bumi atau lelaki dan perempuan. Masing-masing terpisah dalam status dan peran namun bekerja saling melengkapi sehingga pada gilirannya mampu menghasilkan kesuburan, kelangsungan hidup dan kekayaan.




PEMBANGUNAN RUMAH ADAT

              PEMBANGUNAN rumah adat Sumba merupakan salah satu kegiatan adat besar yang membutuhkan sejumlah besar dana, juga keterlibatan banyak pihak sehingga perlu dipersiapkan dengan matang. Tahap-tahap persiapan dan pembangunan mungkin agak berbeda antara satu wilayah etnis dan wilayah etnis lainnya, tapi perbedaan tersebut tidak terlalu mencolok dan lebih disebabkan karena lokasi pengambilan bahan yang berbedabeda. Misalnya ada yang bisa memperoleh bahan di lokasi dekat kampung, tapi ada juga yang harus menyebrangi laut, sehingga akhirnya ikut mempengaruhi variasi ritual. Pada dasarnya pembangunan rumah adat bisa dibagi menjadi tiga tahapan besar yaitu persiapan atau perundingan, pencarian bahan dan pembangunan.


1. Perundingan

         Tahap perundingan yang dalam bahasa Wanokaka disebut pakehang atau pakasana dalam bahasa Loli, merupakan tahapan penting dimana seluruh kabisu terkait, baik yang bermukim di dalam maupun di luar kampung, berkumpul bersama untuk membicarakan persiapan-persiapan yang perlu dilakukan, baik menyangkut bahan, tenaga kerja, ritual adat, pendanaan dan waktu pelaksanaan


2. Pencarian bahan

        Pada tahap ini bahan bangunan mulai dikumpulkan. Bahan-bahan ini berasal dari alam sekitar, seperti kayu untuk tiang, alang-alang untuk atap, bambu untuk dinding dan lantai, tali-temali untuk pengait, juga pandan yang kemudian dianyam menjadi tikar untuk alas duduk maupun tidur. Yang terpenting dari semuanya adalah pencarian kayu untuk tiang utama. Proses pencarian, yang kadang bisa berlangsung selama berhari-hari, umumnya dilakukan di hutan-hutan tertentu melalui kegiatan adat khusus yang di sebut Laungu Ai (Wanokaka) atau Burru Kandawu (Loli). Sebelum berangkat, rombongan yang dipimpim oleh beberapa orang rato terlebih dahulu melakukan pemujaan kecil dengan menyembelih ayam guna mengetahui peruntungan dan lokasi yang tepat. Pemujaan kembali dilakukan setelah kayu ditemukan, kali ini dengan pelantunan syair-syair adat serta persembahan sirih dan pinang sebagai simbol permohonan ijin kepada roh penunggu pohon. Lalu sang rato melemparkan tombaknya ke pohon terpilih dan dengan itu proses penebangan pun dimulai. Setelah ditebang, kayu diikat dengan tali khusus, dihiasi lado (semacam hiasan kepala yang biasa dipakai para rato) lalu ditarik beramai-ramai menuju kampung dengan terlebih dahulu melakukan pemujaan sebagai tanda penghormatan kepada roh penunggu pohon. Di pintu masuk kampung kembali dilakukan prosesi adat dalam bentuk kajalla (sejenis pantun adat yang substansinya semacam pertanggung jawaban atau pernyataan maksud). Baru setelah itu rombongan diijinkan masuk kampung untuk memulai proses selanjutnya.


          Di Wanokaka, di mana lokasi pengambilan kayu berada di hutan Konda Maloba yang harus ditempuh melalui jalur laut, kegiatan Laungu Ai dibarengi ritual yang sedikit berbeda. Rombongan harus berkemah di tepi hutan selama hari-hari, sehingga sewaktu kayu akhirnya berhasil ditemukan dan ditebang, mereka melakukan pemujaan (mayatung) dengan menyembelih ayam serta babi sebagai ucapan syukur, lalu dibagikan kepada seluruh rombongan sebagai simbol melepas kepenatan setelah lama menetap dihutan. Sewaktu hendak berlayar kembali ke Wanokaka mereka juga melakukan ritual yang disebut Maratang Tana, dengan melepas seekor anak ayam yang kaki kanannya diikat tali merah. Lalu ada lagi Hari Papa, upacara meriah yang digelar selama 3 hari di pesisir pantai Wanokaka. Upacara ini merupakan ungkapan syukur dan luapan suka cita karena rombongan telah kembali dan berhasil! Upacara dimeriahkan dengan tarian, nyanyian dan pemotongan hewan untuk dibagikan kepada seluruh rombongan. Pembagian daging dilakukan dengan cara yang sedikit unik, disesuaikan dengan posisi mereka saat berlayar, misalnya kepala untuk juru mudi dan seterusnya. Selepas perayaan Hari Papa kayu datarik menuju kampung. Prosesi penarikan dipimpin para rato dan dua pasang laki-laki dan perempuan yang bertugas sebagai pemberi semangat, pemimpin lagu dan tari-tarian.



3. Pembangunan

         Setelah semua bahan terkumpul pembangunan pun siap dimulai. Tentu saja didahului upacara pemujaan untuk memanggil kula ina-kula ama (roh pasangan pendiri rumah) agar turut serta dalam proses pembangunan kembali rumah tersebut sehingga semuanya dapat berjalan dengan lancar. Ritual ini dilakukan dengan menyembelih babi sebagai persembahan. Bagian rumah yang paling pertama dibangun adalah keempat tiang utama. Tiang-tiang ini dipancang dengan pangkal tertancap di tanah dan ujung menghadap ke atas seperti posisi alami kayu sebelum ditebang, tidak boleh sebaliknya. ujung tali-temali yang mengikat tiang pun harus mengarah ke kanan, tidak boleh ke kiri. Pelanggaran terhadap hal-hal semacam ini dipercaya bakal membawa penyakit bagi penghuni rumah. Setelah tiang utama tertancap kuat, giliran tiang-tiang pendukung (pari’i ripi) yang dibangun, lalu landasan rumah (uma dana) dan terakhir kerangka menara. Proses selanjutnya adalah pemasangan alang-alang (pangaingo) yang juga dianggap penting dan biasanya melibatkan partisipasi seluruh kampung. Pemasangan alang-alang harus dilakukan serapat mungkin agar tidak bocor ketika hujan. Berikutnya adalah pemasangan dinding, lalu lantai, diakhiri dengan pengerjaan bagian dalam rumah. Selama pembangunan berlangsung, setangkup sirih pinang selalu diletakkan di dekat Parii urat (tiang utama pertama) sebagai persembahan kepada marapu.

========================================================================
Sekian dan terimah kasih atas kebersamaan anda dalam melihat dan membaca isi dan bloger Alexander Umbu goda. tiada lain dan tiada bukan harapan saya tetap sama semoga berguna dan bermanfaat bagi saudara saudara sekalian yang membutukan informasi mengeni sumba. .

Tidak ada komentar: