PERESMIAN BLOGGER ALEXANDER UMBU GODA

Alexander umbu goda secara resmi hari ini tanggal 05 october 2013 telah memutuskan untuk menetapkan sebuah lencana dalam blog ini yang saya beri nama Peresmian Bloger Alexander

Jumat, 31 Januari 2014

Masa Kolonial Pulau sumba

Home > Sejarah Sumba > Masa Kolonial

MASA KOLONIAL


SELAMA berabad-abad, posisi Sumba yang dari segi politik relatif terisolasi serta minimnya sumber daya alam menyebabkan pulau ini nyaris tidak menarik minat dunia luar. Memang ada sejarah panjang tentang pertukaran ide-ide dan benda material dalam jumlah kecil di masa kerajaan Majapahit. Sumba pernah pula disebut sebagai tanah jajahan, tapi pada kenyataannya tidak ada pengaruh atau kendali berarti dari daerah lain yang berkuasa terhadap wilayah ini. Bima di Sumbawa serta Ende di Flores melakukan barter dan ada sedikit pengaruh budaya, tapi tidak ada kontrol politik terhadap bangsawan-bangsawan yang berkuasa di Sumba.

Selanjutnya datang bangsa Portugis yang ingin menancapkan kekuasaan dan menguasai perdagangan. Dalam penelitian yang dilakukan Joanna Mross di Wanokaka, yang ia tuangkan dalam makalah berjudul Settlements of The Cockcatoo: From Substansce to Style (1994-95), warga kampung Waikawolu Wawa dan Praigoli masih mengingat cerita-cerita tentang serangan Portugis terhadap Wanokaka pada tahun 1819. Mereka menyerbu sejumlah kampung, menghancurkan batu-batu kubur besar milik para bangsawan dan membawa para tawanan untuk dijual sebagai budak. Dengan pengalaman pertama yang begitu buruk tak heran jika bangsa Barat beserta agama dan perdagangannya umumnya ditolak oleh masyarakat Sumba. Pada awal abad ke 18, giliran VOC yang melakukan sejumlah perdagangan dengan penduduk Sumba melalui perantara orangorang Ende dan pada akhirnya menancapkan kekuasaannya di Sumba bagian tenggara melalui para bangsawan feodal.

Jauh sebelum munculnya kedudukan Belanda di pulau Sumba, pada tahun 1756 pernah dilakaukan kontrak dagang antara Komisaris Paravicini dengan 48 raja di daratan Timor, Alor, Flores, Solor, juga Sumba. J. A. Paravicini adalah Komisaris Tinggi VOC Belanda yang diutus Pemerintah Pusat di Batavia untuk menyelidiki kebenaran berita yang mengatakan bahwa Portugis dan Perancis hendak menyerang Timor dan pulau-pulau di sekitarnya, juga untuk memperbaharui perjanjian VOC dengan raja-raja di kawasan itu. Kontrak itu dilakukan pada tanggal 9 Juni di Kupang. Ada 8 orang raja Sumba yang ikut termuat dalam perjanjian tersebut, namun mereka tidak hadir secara fisik, perjanjian tertulis itu ditandatangani oleh Raja Mangili yang kebetulan berada di Kupang dan mengajukan diri untuk menandatangani kontak mengatasnamakan raja-raja lainnya. Akan tetapi raja Sumba yang lain kemudian menolak perjanjian itu karena mereka merasa bukan bawahan raja Mangili. Sebetulnya kontrak dagang tersebut bukan semata-mata menyangkut persetujuan dagang yang memberi monopoli kepada Belanda tapi sekaligus suatu pasal politik dimana para raja itu mengakui kedaulatan raja Belanda atas wilayah pemerintahannya. Dengan menandatangani kontrak tersebut berarti secara de jure wilayah dan pemerintahan mereka berada dibawah pemerintah kolonial, walaupun secara de facto raja-raja tersebut tetap berdaulat ke dalam, lebih-lebih di Sumba yang jauh dari jangkauan komunikasi (Umbu Pura Woha, 2008).

Meskipun tidak pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumba, Paravicini memberikan gambaran yang sangat positif tentang pulau itu. Namun Pemerintah Pusat tidak percaya begitu saja sehingga mengirim seorang pejabat lain, yaitu Opperhoofd Beijnon, untuk menyelidiki keadaan di Sumba. Laporan Beijnon mengatakan Sumba tidak aman karena sering terjadi perang antar suku tapi ada potensi cendana, hamba bermutu baik, arang serta kapas. Setelah itu pemerintah pusat beberapa kali lagi mengirimkan utusannya ke pulau Sumba. Namun sesudah tahun 1775 tidak ada lagi berita tentang Sumba.
Baru pada tahun 1838, ketika sebuah kapal Inggris terdampar di Lamboya Pemerintah Belanda kembali menaruh perhatian terhadap Sumba. Muatan dan awak kapal yang terdampar itu dirampas, walau pada akhirnya para penumpang kapal yang menjadi tawanan berhasil melarikan diri ke Makasar dengan menggunakan perahu Ende. Bukti peninggalan kapal Inggris yang karam itu, berupa jangkar kapal yang dalam istilah lokal disebut watu kanaga tena hingga kini masih ada di Lamboya, tepatnya di kampung Malisu.

Setelah mendengar kejadian kapal karam itu, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia yang khawatir kalau-kalau Inggris menduduki pulau itu, memerintahkan Residen D.J. Van den Dungen Gronovius pergi ke Pulau Sumba untuk melakukan penyelidikan serta menetapkan cara untuk menguasai pulau tersebut. sang Residen mengutus seorang keturunan Arab bernama Syarif Abdulrahman bin Abubakar Algadrie mewakili dirinya. Setelah bertandang ke Sumba, Syarif Abdulrahman bin Abubakar Algadrie melaporkan terbuka peluang besar untuk menguasai Pulau Sumba. Syarif Abdulrahman bin Abubakar Algadrie lantas diangkat sebagai wakil dagang pemerintah, ia menetap di Sumba dan berdagang hewan dengan modal dari Residen. Dari hasil perdagangan itu Syarif Abdurrahman bin Abubakar Algadrie mendapatkan keuntungan besar. Pada tahun 1843 ia mendirikan kota Waingapu dan berhasil mengembangkan kota itu menjadi salah satu pelabuhan dagang penting di luar pelabuhan Kupang (Oe.H.Kapita1976). Walau telah menempatkan wakil dagangnya di pulau Sumba, Pemerintah Belanda belum tertarik untuk menduduki pulau itu, baru pada tahun 1866 pemerintah menempatkan Samuel Roos sebagai Kontrolir di Waingapu. Ia adalah kontrolir pertama di pulau Sumba yang berhasil menjalin hubungan baik dengan penguasa dan penduduk setempat.

Di mata penguasa Belanda, Pulau Sumba dianggap sebagai pulau yang tidak aman karena banyak terjadi perang antar suku dan perdagangan budak. Oleh karena itu penguasa Belanda berupaya melakukan penertiban dan pengamanan. Pemerintah Belanda akhirnya mulai mengambil langkah-langkah untuk mengamankan kehidupan di pulau Sumba. Di tahun 1879 pada saat B. E. J. Roskott menjabat sebagai kontrolir di Sumba, diusulkan agar ditempatkan dua Post Houder (Pos Penjagaan) di Pulau Sumba. Di Mamboro untuk Sumba Barat dan di Melolo untuk Sumba Timur. Usul itu disetujui, lalu Ehrich ditempatkan di Mamboro dan F. Sick di Melolo. Dalam tahun itu juga pulau Sumba dibagi menjadi dua wilayah (onderafdeling) yaitu Onderafedeling Sumba Timur berpusat di Melolo dan Onderafedeling Sumba Barat berpusat di Mamboro. Menurut laporan Ehrich saat menjabat Post Houder Mamboro, wilayah (landschaap) Sumba Barat meliputi: Mamboro, Laura, Kodi, Wewewa, Tana Maringi, Lolina, Wanukaka, Lamboya, Anakalangu, Pondaku, Tana Righu dan Palamodu.

Kekuasaan Belanda pada paruh pertama abad ke 19 sebenarnya tidak bersifat interventif dan tidak menyukai operasi militer yang memakan biaya dan resiko adminisSwapraja- swapraja ini dipimpin oleh seorang Kepala Swapraja yang lebih sering disebut raja. Kekuasaan mereka disahkan oleh Penguasa Belanda melalui penandatanganan kontrak korte verklaring, dimana masing-masing raja diberi tongkat kebesaran (tokko) serta secarik bendera sebagai tanda kekuasaan. Raja yang mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda harus mengakui kedaulatan penguasa Belanda dan salah satu tugas pentingnya adalah menarik pajak.

Dalam buku Sejarah Perjuangan Benaka Hurka dan Tadu Moli Melawan Belanda di Lamboya (2010) Munandjar Widyatmika, dkk menulis bahwa di Sumba Barat kebijakan pajak diberlakukan mulai tahun 1910. Pajak ditarik melalui para kepala desa dalam bentuk pajak kepala dan pajak ternak. Ada pula pajak ekspor impor yang ditetapkan di setiap pelabuhan. Kebijakan pajak ditetapkan setelah raja yang bersangkutan menanda tangani kontrak korte verklaring S dan kontrak pajak. Kontrak pajak disebut verklaring betreffende belastingheffing. Walaupun tidak semua raja menandatangani kontrak pajak namun dengan adanya kontrak korte verklaring maka setiap kerajaan dianggap mempunyai kewajiban membayar pajak. Sebagai imbalannya setiap raja dan wakil raja diberi gaji oleh Belanda. Kontrak pemberlakuan pajak menyebabkan rakyat menderita. setiap penduduk dewasa wajib membayar uang pajak, dan karena pada waktu itu uang tunai belum beredar di kalangan masyarakat pedesaan maka pajak dipungut dalam bentuk barang seperti beras, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan telur. Baru beberapa tahun kemudian digunakan uang logam. Beban pajak yang berat pada akhirnya memicu berbagai gerakan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Di Sumba Barat gerakan perlawanan terjadi sebanyak dua kali yakni, perang Malisu pada tahun 1911 dan perang Tadu Moli tahun 1914. Keduanya berlokasi di Lamboya, dipelopori oleh beberapa Suasana saat penarikan pajak oleh Pemerintah Belanda trasi. Politik Pasifikasi kala itu lebih ditekankan untuk menegakkan ketertiban melawan anarkhi dan memperkuat wibawa raja-raja setempat. Menciptakan orde, rust en welvaart (tertib, aman dan sejahtera) tanpa menyingkirkan kepemimpinan raja setempat untuk mempermudah pembentukan pemerintahan sendiri (zelf bestuur) yang direstui Belanda. Namun pada tahun 1890-an muncul semangat ofensif baru untuk menegakkan citra kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jendral Van Heuts menyebut semangat baru ini dengan istilah membangunkan wilayah Timur Besar dari tidur lelap Raya (de Moor, 1989). Pada tahun 1904 van Heutz mengeluarkan kebijakan Buitengewesten. Dalam kebijakan ini Pemerintah Belanda menaruh perhatian terhadap wilayah-wilayah di luar Jawa terutama yang belum ditaklukkan oleh Belanda. Alasannya berkesan etis tapi tujuan sesungguhnya adalah untuk membenarkan ofensif militer di wilayah pedalaman. Dengan dalih menegakkan kewibawaan, memberantas perbudakan dan menghentikan perang antar suku, pemerintah Belanda melakukan berbagai upaya mempercepat penaklukkan di wilayah-wilayah luar Jawa termasuk wilayah Keresidenan Timor dan Daerah Taklukannya.

Menindaklanjuti kebijakan Buitengewesten di keresidenan Timor tersebut, Pemerintah Belanda mulai melakukan penaklukan seluruh Pulau Sumba. Kebijakan pengamanan Pemerintahan kolonial ini dipimpinan Letnan I Rijnders sebagai Gezaghebber Sipil dan Militer Pulau Sumba yang berkedudukan di Waingapu. Pengamanan Pulau Sumba berlangsung selama enam tahun yakni dari tahun 1906-1912. Dalam upaya memperluas wilayah kekuasaan di Sumba Barat, Pemerintah Belanda menempatkan Post Houder di dua tempat. Satu di Mamboru dibawah pimpin Sersan Abbenk dan satu lagi di Waikabubak dibawah pimpin Letnan de Neeve.

Selanjutnya dilakukan penataan pemerintahaan dengan menggabung kerajaankerajaan yang ada mejadi: Kerajaan Loura, Kerajaan mamboro, Kerajaan Kodi dan Kerajaan Wewewa. Pemerintahan Belanda di pulau Sumba kemudian diserahkan pada A.J.L. Couvreur sebagai Pemerintah Sipil dengan status sebagai Kontrolir, kemudian diangkat sebagai Asisten residen Sumba. Pada masa pemerintahannya, pulau Sumba ditetapkan sebagai satu afdeeling dalam Keresidenan Timor dan Daerah Taklukannya, dan dibagi menjadi Onder Afdeeling Sumba Timur dengan ibu kota Melolo, Onder Afdeeling Sumba Tengah dengan ibu kota Waingapu, Onder Afdeeling Sumba Barat Utara dengan ibu kota Karuni, dan Onder Afdeeling Sumba Barat Selatan dengan ibu kota Waikabubak. Pada tahun 1922 Onder Afdeeling Sumba Timur dan Onder Afdeeling Sumba Tengah digabung dalam Onder Afdeeling Sumba Timur dengan ibu kota Waingapu, sedangkan Onder Afdeeling Sumba Barat Utara dan Onder Afdeeling Sumba Barat Selatan digabung menjadi Onder Afdeeling Sumba Barat dengan ibu kota Waikabubak (Widyatmika: 2010).

Pada masa pemerintahan Belanda, pulau Sumba terbagi kedalam 16 kerajaan dengan pemerintahan yang berbentuk swapraja. Tujuh diantaranya terletak di Sumba Timur dan sembilan lainnya di Sumba Barat, yaitu: Kerajaan atau Swapraja Kodi, Laura, Wewewa, Laboya, Anakalang, Wanokaka, Memboru, Loli, dan Umbu Ratu Nggay.

tokoh tradisional antara lain Benaka Hurka dan kawan-kawan di Malisu serta Tadu Moli dan kawan-kawan di Sodan.

Untuk mendapatkan kepastian pembayaran pajak, pemerintah Belanda memerlukan kepastian jumlah penduduk dewasa dan kepastian penduduk suatu desa. Maka Belanda pun mulai melakukan sensus penduduk di beberapa tempat, serta resetlement penduduk dari pegunungan ke lokasi di bawahnya atau di dekat jalan raya untuk memelihara perbaikan jalan. Pembangunan jalan kala itu berorientasi pada kepentingan militer dan pertahanan sehingga diberlakukan sistem kerja rodi untuk membangun jalan yang disebut heredientens. Dalam satu tahun seorang lelaki dewasa dikenakan kerja rodi sekitar 35 hari. Sering kali lokasi kerja rodi berjauhan dengan tempat tinggal mereka sehingga dianggap sangat merugikan dan menyengsarakan penduduk. Sedangkan sensus penduduk berlaku sangat variatif. Pada tahun 1863 telah ada sensus penduduk di pulau Rote. Namun secara umum sensus penduduk mulai diperkenalkan di keresidenan Timor pada tahun 1930.

Melalui Sumba Kontrak, pemerintah Belanda juga memperkenalkan sapi ongole di Sumba yang diberikan secara bergulir dalam bentuk sistem kopel. Biasanya satu paket terdiri dari 8 betina dan 1 ekor pejantan. Jika di lokasi yang bersangkutan sudah berkembang, maka ternak tersebut didistribusikan lagi ke tempat lain dengan sistem yang sama. Biasanya distribusi dilakukan di lokasi para bangsawan yang memiliki padang penggembalaan. Kebijakan perbaikan kesejahteraan masyarakat ini seolah-olah Belanda berbaik hati melaksanakan kepentingan rakyat. Tetapi sebenarnya menyangkut kepentingan penguasa Belanda sendiri. Sebab kalau pendapatan para petani berkembang maka upaya membayar pajak untuk kepentingan Belanda diharapkan berjalan lebih lancar karena penduduk memiliki uang untuk membayar pajak tersebut. Untuk meningkatkan kesehatan penduduk nantinya juga dilakukan kegiatan imunisasi cacar bagi penduduk. Kegiatan imunisasi cacar di Timor diperkenalkan oleh residen J.A.Hazaart.

Pada tahun 1913 wilayah Sumba Barat dibagi dalam dua bagian yakni: Sumba Barat Laut meliputi Loura, Mamboro, Kodi, Mba Ngedo, dan Wewewa dengan ibu kota di Karuni. Dan Sumba Selatan Daya meliputi Lolina, Wanukaka, Lamboya, Anakalang dan Lawonda dengan ibu kota di Waikabubak (Kapita, 1976).

Tidak ada komentar: