PERESMIAN BLOGGER ALEXANDER UMBU GODA

Alexander umbu goda secara resmi hari ini tanggal 05 october 2013 telah memutuskan untuk menetapkan sebuah lencana dalam blog ini yang saya beri nama Peresmian Bloger Alexander

Jumat, 31 Januari 2014

Kampung adat pulau sumba Alexander Umbu Goda

Home > Tradisional > Kampung Adat
KAMPUNG ADAT
ADA sebuah julukan yang rasanya pantas diberikan kepada Kabupaten Sumba Barat yaitu The land of A Thousand Villages atau tanah seribu kampung. Kabupaten ini memang penuh dengan kampung-kampung tradisional yang tersebar mulai dari pelosok terpencil hingga ke pusat kota. Mungkin Anda tak percaya di pusat kota ada kampung tradisionalnya, tapi begitulah keunikan Sumba Barat, yang modern dan tradisional bercampur jadi satu. Penduduk Sumba Barat umumnya membangun perkampungan mereka di puncak- puncak bukit. Kecenderungan ini setidaknya didasarkan atas dua alasan utama yaitu alasan praktis dan religius. Di masa lalu sering terjadi perang antar suku untuk memperebutkan daerah kekuasaan sehingga tempat yang tinggi dianggap lebih praktis untuk dijadikan benteng pertahanan. Sedangkan dari sisi religius mengacu pada konsepsi pra sejarah yang mengangap semakin tinggi tempat tinggal, semakin dekat pula penghuninya dengan arwah leluhur dan dewa-dewa. Apa pun alasannya, posisi kampung yang berada di puncak bukit mendatangkan keuntungan estitika berupa pemandangan yang sangat
indah.

Seperti telah di bahas pada bab sebelumnya ada dua jenis kampung tradisional yang dikenal penduduk asli Sumba, yaitu kampung besar (wanno kalada) dan cabang dari kampung besar tersebut (wanno gollu). Kampung besar adalah kampung yang dibangun oleh nenek moyang pertama dan merupakan pusat penyelenggaraan berbagai ritual adat penting. Karena peran ritual yang disandangnya wanno kalada sering pula dirujuk dengan istilah kampung adat. Sementara kampung cabang adalah kampung-kampung yang dibangun oleh generasi yang lebih muda. Kampung semacam ini bukan tempat kediaman marapu sehingga tidak memiliki peran ritual. Warganya selalu harus kembali ke kampung besar sewaktu hendak menggelar upacara-upacara penting, termasuk perkawinan dan penguburan. Dengan demikian kampung adat atau wanno kalada bisa pula dilihat sebagai sebuah identitas kelompok. Orang-orangnya, baik yang masih tinggal di sana ataupun yang tersebar diberbagai tempat lain, terikat satu sama lain oleh hak dan kewajiban yang sama atas kampung mereka dan berbagai kegiatan sosio-religius.Kampung adat Sumba dikelilingi pagar batu yang tertata rapi serta dilengkapi dua gerbang utama, gerbang masuk yang disebut bina tama dan gerbang keluar yang disebut bina louso.

Sebongkah batu atau simbol-simbol lain yang telah diperciki darah hewan pesembahan diletakkan di masing-masing gerbang sebagai perlambang roh penjaga pintu (marapu bina). Sebuah wanno kalada umumnya dihuni oleh lebih dari satu klan, masing-masing memiliki satu rumah adat utama. Rumah-rumah ini dibangun berjajar mengelilingi sebuah pelataran suci (natara) yang pada waktu-waktu tertentu digunakan sebagai tempat menggelar berbagai ritual penting. Di sekitar natara dan rumah adat, tersebar makam megalitik. Orang Sumba selalu mendirikan kuburan di depan rumah mereka agar senantiasa dekat dengan kerabat yang telah meninggal. Posisi mayat pun selalu menghadap ke arah rumah agar dapat mengawasi aktifitas mereka yang masih hidup. Selain fungsi pokoknya sebagai tempat mengubur mayat, makam-makam ini sering juga digunakan untuk kegiatan lain yang bersifat profan, misalnya menjemur padi atau menjadi semacam balkon untuk menonton upacara adat yang digelar di natara. Selain batu kubur, terdapat beberapa objek pemujaan yang tersebar di tengah kampung adat. Yang paling umum adalah katoda, berupa tonggak kayu kecil dengan batu pipih di bawahnya sebagai tempat meletakkan persembahan bagi marapu. Di beberapa kampung tertentu ada watu kaballa atau batu kilat yang dipercaya berasal dari langit dan konon bisa mendatangkan sambaran petir terhadap orangorang yang berniat buruk. Lainnya berupa pokok kayu mati yang disebut adung. Pada zaman dahulu adung digunakan untuk menggantung kepala musuh. Di depan adung pula digelar upacara-upacara persiapan perang dan sesudahnya. Sekarang ini yang digelar disitu adalah ritual persiapan berburu babi hutan yang diselenggarakan pada saat bulan suci (wulla poddu)
 sekitar Oktober – November setiap tahun.

Tidak ada komentar: