PERESMIAN BLOGGER ALEXANDER UMBU GODA

Alexander umbu goda secara resmi hari ini tanggal 05 october 2013 telah memutuskan untuk menetapkan sebuah lencana dalam blog ini yang saya beri nama Peresmian Bloger Alexander

Jumat, 31 Januari 2014

Kampung adat Pulau sumba Alexander Umbu Goda

Home > Tradisional > Rumah Adat
RUMAH ADAT
Seperti kampung mereka, rumah orang Sumba terbagi dalam pengertian rumah besar (uma kalada) dan selainnya. Dan seperti wanno kalada, uma kalada juga merupakan rumah yang dibangun oleh nenek moyang pertama dan dihuni turun temurun oleh generasi selanjutnya. Di rumah adat ini berdiam arwah leluhur yang telah menjadi serupa dewa (marapu), dan dirumah ini pula tersimpan harta benda pusaka milik keluarga bersangkutan. Semua turunan pendiri rumah, baik yang masih berdiam di situ maupun yang telah membangun hunian baru, terikat dalam suatu hubungan kekerabatan yang disebut kabisu. Dalam satu kampung umumnya terdapat lebih dari satu kabisu, masing-masing memiliki uma kalada tersendiri yang berfungsi sebagai pusat kehidupan sosio-religius kelompok kabisu bersangkutan. Rumah-rumah tradisional yang tidak termasuk kategori rumah adat disebut ana uma (jika dibangun di kampung yang sama) atau uma ouma (jika dibangun diluar kampung adat).

Ana uma artinya anak rumah, yaitu cabang sebuah rumah adat yang ddirikan oleh nenek moyang yang lebih muda. Sedangkan uma ouma berarti rumah kebun, karena awalnya memang dibangun disekitar sawah dan ladang untuk keperluan pengawasan. Rumah-rumah semacam ini tidak dianggap sebagai kediaman leluhur sehingga tidak dijadikan pusat seremonial. Seremoni-seremoni penting dalam siklus hidup penghuninya seperti perkawinan dan penguburan tetap dilaksanan di rumah adat utama, demikian pula dengan pemujaan-pemujaan tertentu. Seperti disinggung sebelumnya, sebuah rumah adat utama selalu menjadi milik sebuah kabisu. Dan dalam sebuah kampung yang homogen (dihuni lebih dari satu kabisu), rumah adat kabisu yang satu dibedakan dengan rumah adat kabisu yang lain berdasarkan nama yang disandangnya. Nama sebuah rumah adat bisa berdasarkan nama pendirinya, tapi lebih sering berdasarkan peran ritual yang dijalankannya. Nama dan fungsi rumah antara kampung yang satu dengan yang lainnya juga berbeda-beda, tergantung upacara yang biasa digelar di kampung tersebut. Sebagai contoh, di kampung Tambera (Kecamatan Loli) ada rumah bernama Uma Kalada Wogo milik klan Wee Lowo yang bertugas sebagai penjaga mata air suci dan pemanggil hujan. sementara di kampung  Dikita (Kecamatan Tana Righu) ada Umma Pulluna yang berperan menyampaikan pesan-pesan diantara para rato (jubir).

Kampung adat pulau sumba Alexander Umbu Goda

Home > Tradisional > Kampung Adat
KAMPUNG ADAT
ADA sebuah julukan yang rasanya pantas diberikan kepada Kabupaten Sumba Barat yaitu The land of A Thousand Villages atau tanah seribu kampung. Kabupaten ini memang penuh dengan kampung-kampung tradisional yang tersebar mulai dari pelosok terpencil hingga ke pusat kota. Mungkin Anda tak percaya di pusat kota ada kampung tradisionalnya, tapi begitulah keunikan Sumba Barat, yang modern dan tradisional bercampur jadi satu. Penduduk Sumba Barat umumnya membangun perkampungan mereka di puncak- puncak bukit. Kecenderungan ini setidaknya didasarkan atas dua alasan utama yaitu alasan praktis dan religius. Di masa lalu sering terjadi perang antar suku untuk memperebutkan daerah kekuasaan sehingga tempat yang tinggi dianggap lebih praktis untuk dijadikan benteng pertahanan. Sedangkan dari sisi religius mengacu pada konsepsi pra sejarah yang mengangap semakin tinggi tempat tinggal, semakin dekat pula penghuninya dengan arwah leluhur dan dewa-dewa. Apa pun alasannya, posisi kampung yang berada di puncak bukit mendatangkan keuntungan estitika berupa pemandangan yang sangat
indah.

Seperti telah di bahas pada bab sebelumnya ada dua jenis kampung tradisional yang dikenal penduduk asli Sumba, yaitu kampung besar (wanno kalada) dan cabang dari kampung besar tersebut (wanno gollu). Kampung besar adalah kampung yang dibangun oleh nenek moyang pertama dan merupakan pusat penyelenggaraan berbagai ritual adat penting. Karena peran ritual yang disandangnya wanno kalada sering pula dirujuk dengan istilah kampung adat. Sementara kampung cabang adalah kampung-kampung yang dibangun oleh generasi yang lebih muda. Kampung semacam ini bukan tempat kediaman marapu sehingga tidak memiliki peran ritual. Warganya selalu harus kembali ke kampung besar sewaktu hendak menggelar upacara-upacara penting, termasuk perkawinan dan penguburan. Dengan demikian kampung adat atau wanno kalada bisa pula dilihat sebagai sebuah identitas kelompok. Orang-orangnya, baik yang masih tinggal di sana ataupun yang tersebar diberbagai tempat lain, terikat satu sama lain oleh hak dan kewajiban yang sama atas kampung mereka dan berbagai kegiatan sosio-religius.Kampung adat Sumba dikelilingi pagar batu yang tertata rapi serta dilengkapi dua gerbang utama, gerbang masuk yang disebut bina tama dan gerbang keluar yang disebut bina louso.

Sebongkah batu atau simbol-simbol lain yang telah diperciki darah hewan pesembahan diletakkan di masing-masing gerbang sebagai perlambang roh penjaga pintu (marapu bina). Sebuah wanno kalada umumnya dihuni oleh lebih dari satu klan, masing-masing memiliki satu rumah adat utama. Rumah-rumah ini dibangun berjajar mengelilingi sebuah pelataran suci (natara) yang pada waktu-waktu tertentu digunakan sebagai tempat menggelar berbagai ritual penting. Di sekitar natara dan rumah adat, tersebar makam megalitik. Orang Sumba selalu mendirikan kuburan di depan rumah mereka agar senantiasa dekat dengan kerabat yang telah meninggal. Posisi mayat pun selalu menghadap ke arah rumah agar dapat mengawasi aktifitas mereka yang masih hidup. Selain fungsi pokoknya sebagai tempat mengubur mayat, makam-makam ini sering juga digunakan untuk kegiatan lain yang bersifat profan, misalnya menjemur padi atau menjadi semacam balkon untuk menonton upacara adat yang digelar di natara. Selain batu kubur, terdapat beberapa objek pemujaan yang tersebar di tengah kampung adat. Yang paling umum adalah katoda, berupa tonggak kayu kecil dengan batu pipih di bawahnya sebagai tempat meletakkan persembahan bagi marapu. Di beberapa kampung tertentu ada watu kaballa atau batu kilat yang dipercaya berasal dari langit dan konon bisa mendatangkan sambaran petir terhadap orangorang yang berniat buruk. Lainnya berupa pokok kayu mati yang disebut adung. Pada zaman dahulu adung digunakan untuk menggantung kepala musuh. Di depan adung pula digelar upacara-upacara persiapan perang dan sesudahnya. Sekarang ini yang digelar disitu adalah ritual persiapan berburu babi hutan yang diselenggarakan pada saat bulan suci (wulla poddu)
 sekitar Oktober – November setiap tahun.

Ajarabn ajaran Marapu pulau sumba Alexander Umbu Goda

Home > Merapu > Ajaran-Ajaran Merapu
AJARAN-AJARAN MARAPU

KARENA tidak mengenal tulisan maka sudah jelas tak ada ajaran Marapu yang tercatat, apalagi terangkum dalam sebuah kitab suci. Tapi tidak adanya tulisan telah mendorong munculnya keahlian lain, selama berabad-abad nenek moyang suku Sumba telah mengembangkan suatu tradisi oral yang mengagumkan.

Ajaran-ajaran mereka tersimpan dalam syair-syair suci marapu yang disebut

Tempat tempat pemujaan pulau sumba Alexander Umbu Goda

Home > Merapu > Tempat-Tempat Pemujaan
TEMPAT-TEMPAT PEMUJAAN

KEPERCAYAAN Marapu tidak mengenal tempat ibadah khusus seperti kuil atau sejenisnya.Memang ada semacam gubuk khusus yang disebut Uma Marapu, tapi tidak di setiapkampung, lagi pula bangunan tersebut bukan tempat ibadah melaikan tempat kediamanmarapu yang justru tidak boleh didatangi sembarang orang. Para penganut Marapu biasanyamelakukan pemujaan ditempat-tempat tertentu yang berada di dalam maupun diluar rumah. Berikut ini beberapa diantaranya:

  1. Mbali katounga
    (dalam bahasa Wanokaka disebut pani lulu) merupakan bale besardalam rumah yang langsung terhubung dengan pintu utama. Pemujaan-pemujaan yangberkaitan dengan upacara adat seperti kelahiran, perkawinan dan kematian biasa dilakukandi tempat ini, baik dengan cara sederhana ataupun urata. Dalam kehidupan seharihariMbali Katonga memiliki fungsi praktis sebagai tempat menerima tamu, tempat tidurdan sebaginya.

  2. Mata marapu
    altar kecil sederhana yang terletak di salah satu sudut ruangan, tempatmeletakkan benda-benda sakral yang memiliki kekuatan gaib atau yang melambangkankehadiran Marapu seperti Raba: kotak kecil tempat persemayaman Marapu; Weri:sejumput daun kelapa muda atau alang-alang yang berfungsi sebagai tanda laranganyang disertai kekuatan sihir. Kasede-Kanako: batu-batuan simbol keberuntungan ekonomi;dan Kaweda: bakul kecil terbuat dari rotan (uwe) atau kulit kayu rowa yang seringdigunakan pada pemujaan-pemujaan di sawah atau ladang. Di dalam kaweda tersimpanbenda-benda simbol marapu yang ada kaitannya dengan alat-alat pertanian seperti pisaukecil, batu asah (watu asa), kerat cendana (ndana), segumpal garam dan sepotong koprabakar. Benda-benda tersebut merupakan alat dan ramuan pemujaan yang bersamasirih pinang dipersembahkan kepada marapu saat hendak panen. Kaweda ada juga yangberisi bulu ayam (ghulu manu) sebagai lambang hewan korban, biji kapas (watu kamba)sebagai lambang bahan pakaian, mayang padi (ghuli pare) sebagai lambang hasil panen,serta nyiru kecil (ana tapi) sebagai lambang aktivitas kehidupan.

  3. Uma dana
    loteng yang berada tepat di atas perapian dan berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka milik kabisu, seperti patung-patung dari kayu atau batu, pedang, tombak, kaleku pamama (tas sirih dan pinang yang khusus diperuntukan bagi Marapu), dll.

  4. Parii Urat/Lambe
    tiang utama rumah adat dan cicin kayu yang melingkarinya. dipercaya sebagai jalur naik dan turunnya Marapu. Dalam pemujaan-pemujaan yang bertujuan memanggil marapu guna mendapatkan petunjuknya, para rato harus menancapkan ujung sebuah tombak yang disebut tombak ramalan (nombu urata) di tiang ini. Kehadiran marapu diketahui dari getaran yang ditimbulkan tombak tersebut, sementara kehendaknya diketahui dengan meneliti posisi usus ayam atau korban lain yang disembelih sesudah itu.

  5. Kere pandalu
    ruangan tempat menyimpan tempayan (pandalu). ada dua jenis tempayan yang tersimpan disini, yaitu padalu kaba (berisi air biasa untuk keperluan seharihari) dan padalu Podu (berisi air suci yang hanya boleh dipakai untuk kegiatan pemujaan). tersimpan pula gulungan daun pandan dan akar-akaran yang jika dicampur air suci berkhasiat sebagai ramuan penawar untuk menghalalkan makanan yang tadinya dianggap haram, terutama babi hutan yang diburu saat wulla poddu (bulan suci). Karena terdapat larangan membunuh saat wulla Poddu, maka daging babi hasil buruan di bulan itu dianggap haram sehingga harus diberi penawar dulu supaya bisa dimakan.

  6. Halibar/ Koro kombu
    ruang yang bersisian dengan koro ndouka. Calon pengantin yang hendak menikah biasanya di rias ditempat ini. Juga sebagai tempat berlangsungnya proses kelahiran.

  7. Koro Ndouka 
    bilik khusus yang diperuntukan bagi tuan rumah (mori uma). Terletak di pojok belakang Kere Pandalu, sejajar dengan mata marapu. Di dalam bilik yang pantang dimasuki sembarang orang ini tergantung kaleku pamama atau tempat sirih pemujaan. Menurut kepercayaan Sumba di dalam kaleku ini berdiam kula ina-kula ama yaitu roh pasangan leluhur pendiri rumah. Di bilik ini tersimpan pula benda-benda pusaka berupa perhiasan dan alat-alat upacara seperti piring-mangkuk pamali tempat menyajikan makanan yang khusus dipersembahan bagi marapu (pengga-koba) dan lain sebagainya.

  8. Bina kawunga penne pintu masuk utama yang langsung terhubung dengan mbale katounga. Di dekatnya ada para-para kecil tempat menyimpan benda-benda simbol marapu lainnya. Yang berdiam disini adalah Marapu Bo’u atau marapu baru, yaitu marapu yang belum diresmikan dengan upacara sehingga belum bisa bersatu dengan marapumarapu senior yang berdiam di mata marapu.

  9. Baga/ Lenang beranda depan tempat menggelar musyawarah para Rato untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pemujaan, adat istiadat maupun kehidupan sehari-hari.

  10. Natara
    secara harafiah berarti halaman. Dalam kaitannya dengan upacara adat dikenal dua jenis natara yaitu Natara Podu : halaman suci utama yang terletak di tengan kampung dan Natara Kabba: halaman yang terletak di depan rumah adat. Natara poddu digunakan sebagai tempat menggelar berbagai upacara adat besar seperti rawi rato, gholeka, zaigho, wulla poddu dan lain-lain, sedangkan natara kabba merupakan tempat menggelar ritual atau pesta-pesta yang berkaitan dengan penghuni rumah, seperti deke mawinne (perkawinan), rawina uma (pembangunan rumah) dan tengi tua (tarik batu kubur).

  11. Marapu Wanno – Marapu Binna
    Marapu Wanno adalah marapu penjaga kampung sedangkan marapu binna adalah marapu penjaga pintu. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena pemujaannya sering kali bersamaan. Pemujaan yang sering dilakukan di depan kedua marapu ini adalah: Pakako Sala Diraka dan Wola Kapore. Pakako Sala Diraka adalah upacara mengeluarkan kampung dari kecemaran akibat perilaku incent dan semacamnya yang dipercaya bisa mendatangkan bencana. Upacara ini kerap dilakukan di depan pintu kampung dalam bentuk Zaigho (syair dan nyanyian). Sedangkan Wola Kapore merupakan upacara mengusir penyakit yang sedang mewabah. Pada kesempatan ini disediakan tujuh tempurung kelapa berisi tujuh buah sirih dan pinang, sekerat emas atau perak, satu butir telur dan segenggam beras. Seusai upacara, tempurungtempurung tersebut dibawa keluar sejauh mungkin dari kampung, dan bersamaan dengan itu seisi kampung berteriak-teriak gaduh sambil memukul-mukul dinding, lantai dan pakaian di badan untuk mengusir penyakit yang melekat.

  12. Adung
    tugu kayu yang dikelilingi batu-batu kecil. Pada zaman dulu adung merupakan tempat pelaksanaan upacara persiapan dan sesudah perang. ditempat ini pula kepala musuh yang berhasil ditebas dibawa pulang dan digantung. sekarang yang dilakukan di dekat adung adalah ritual persiapan berburu babi hutan saat Wulla Poddu.

  13. Pada/ Loda
    padang terbuka yang berfungsi sebagai arena pertandingan antar pemuda dari kabisu-kabisu yang berbeda. Sebelum bertanding, masing-masing pihak mengadakan upacara pemujaan dengan cara manggapu yang ditujukan kepada mori loda - mori pada (penunggu lembah - penunggu padang) agar roh-roh pemilik tempat itu memberi keberanian dan kekuatan mengalahkan lawan.

  14. Katoda
    sebatang kayu teras dari jenis kayu kanjuru atau kanawa yang dibuat berkelar-kelar, yang dipancangkan pada tempat-tempat tertentu seperti hulu sawah, kebun atau mata air. Sebuah batu ceper diletakkan disisi katoda sebagai tempat meletakkan sesaji sehingga secara keseluruhan keduanya terlihat seperti lingga dan yoni, (konsep hindu tentang kesuburan). Ritual-ritual pemujaan sederhana terkait dengan pertanian biasanya dilakukan di depan katoda ini.

  15. Mawo
    secara harafiah berarti bayangan, naungan, atau pelindung. dalam konteks ini berupa pohon-pohon besar yang dikeramatkan. Di Wanokaka ada tradisi yang dilakukan setahun sekali dengan membawa kerbau ke bawah pohon ini untuk melakukan pemujaan yang disebut Tangu Keri Gallu (mendinginkan kuku kerbau). Ritual ini dilaksanakan sebelum dan sesudah kerbau-kerbau tersebut bekerja menggarap lahan dengan tujuan dijauhkan dari segala marabahaya. Ritual yang lebih umum disebut tangu mawu ai juga bertujuan mendapatkan perlindungan dan keselamatan. Di Lamboya terdapat ritual sejenis yang disebut pannu ana malangita yang dilaksanakan dua hari menjelang pasola. Sementara di sebagian wilayah Loli ada ritual Pogo Mawo, yaitu ritual pemotongan pohon pelindung di hutan-hutan terdekat dan menanamnya kembali di tengah kampung. Seperti namanya, pohon ini merupakan simbol perlindungan bagi seluruh warga kampung (lebih jauh mengenai Pogo Mawo akan dibahas dalam bab tentang Wulla Poddu).

Pengertian Marapu Pulau sumba Alexander Umbu Goda

Home > Merapu > Bentuk-Bentuk Pemujaan
BENTUK-BENTUK PEMUJAAN
PEMUJAAN terhadap Marapu dilakukan dengan beragam cara, mulai yang sederhana hingga pemujaan rumit yang membutuhkan persiapan matang. Ritual-ritual sederhana umumnya dilakukan dengan mempersembahkan sesaji berupa buah sirih dan pinang. Ada pula yang disertai sekerat emas atau perak serta telur atau anak ayam. Anak ayam ini biasanya disembelih lalu ususnya diperiksa untuk mengetahui kehendak marapu. Pemujaan jenis ini paling sering dilakukan karena tidak membutuhkan banyak persediaan, biasanya berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti saat akan mengolah lahan, mernyebar bibit, menuai panen, menangkap ikan, berburu, saat bepergian dan lain sebaginya. Selain itu, pemujaan sederhana selalu menjadi ritual pendahuluan sebagai pemberitahuan kepada marapu jika hendak menggelar upacara yang lebih besar. pemujaan sederhana dikenaldengan banyak nama, biasanya merujuk pada hewan yang dikorbankan, misalnya Tunu Manu (bakar ayam) atau Ndukura Wawi (tikam babi).

Pemujaan yang lebih rumit dikenal dengan sebutan Urata yang berarti ramalan,disebut demikian karena seringkali menggunakaninstrumen yang disebut nombu urata(tombak ramalan) untuk memanggil kehadiranmarapu dan mengetahui (meramal) kehendaknyamelalui organ hewan yang disembelihkemudian. Pemujaan jenis ini mengharuskanpengorbanan hewan seperti babi atau kerbauyang biasanya berjumlah lebih dari satu. Karenamembutuhkan biaya besar, urata hanya dilakukansesekali yaitu pada upacara-upacaraadat penting seperti Rawi Rato: upacara yangdilakukan dalam rangka pemugaran rumahadat tertentu; Gholeka: upacara yang dilakukanuntuk memenuhi kaul; serta upacara pemanggilanarwah yang tersesat. Dalam kepercayaansumba, jiwa orang yang meninggal karenasebab-sebab non alami (seperti dibunuh ataumengalami kecelakaan) adalah jiwa yang belummenemukan jalan kembali, sehingga perludiadakan pemujaan besar untuk menuntunnyake jalan yang benar. Pemujaan dilakukandalam bentuk zaigho yaitu tarian dan nyanyianyang diselingi dengan pendarasan syair-syairadat. Setiap kali seorang Rato menyelesaikansebuah bait, si penyanyi mengambil beberapakata kunci dari bait tersebut lalu melagukannya.Ini merupakan sebuah proses transimisi,dimana sang penyanyi meneruskan isi pesantersebut kepada tujuan sesunggunya: roh paraleluhur. Selama penyelenggaraan zaigho, sebuahanak tangga yang telah ditaburi abu halusditempatkan di sudut luar rumah. Jika terlihatjejak kaki di atas abu, berarti sang jiwa telahkembali. Zaigho diakhiri dengan penyembelihanhewan korban sebagai tanda ucapan syukur. 

Pengertian marapu ALexander Umbu Goda

Home > Merapu > Pengertian Merapu
PENGERTIAN MARAPU
SELAIN Pulau Sandlewood, Sumba sering pula disebut dengan istilah Bumi Marapu. Kebudayaan Sumba kerap dikaitkan dengan marapu dan banyak orang menyebut sistem kepercayaan tradisional Sumba dengan nama Marapu. Sebetulnya apakah marapu itu?

Dari segi etimologi ada beberapa pengertian marapu. Versi pertama dikemukakanoleh L. Onvlee, seorang peneliti berkebangsaan Belanda. Menurut beliau, sepertidikutip oleh Oe. H.Kapita (1976), marapu berasal dari kata ma = yang dan rapu = dihormati,disembah, didewakan. Versi kedua dan ketiga dikemukakan oleh A.A. Yewangoe.Menurut beliau marapu berasal dari kata ma = yang, serta rappu = tersembunyi. Marapubisa juga berasal dari kata mara = serupa serta appu = nenek moyang. Sementara itu,Nggodu Tunggul (2003) menafsirkan marapu sebagai gabungan dari kata ma=yang, sertarappu=mengkristal ke dasar. Marapu mengandung makna yang telah rampung, telahberes, telah selesai. Menurut beliau hal ini berkaitan dengan kematian, artinya jasad manusiatelah dikuburkan secara resmi menurut hukum adat, roh dan jiwanya telah dipercayakankepada sang pencipta, tugas manusia yang masih hidup telah selesai. Jasadyang meninggal telah membusuk, mengkristal, menyatu kembali dengan tanah sebagaizat asal kejadiannya, sedangkan roh dan jiwanya telah kembali kepada penciptanya, menyatudengan zat Illahi dalam suasana kehidupan yang baru dan abadi. Roh para leluhuryang telah menyatu dengan sang pencipta disebut marapu. Sedemikian dekatnya merekadengan sang pencipta sehingga marapu kemudian menjadi penghubung manusia dalamberkomunikasi dengan Alkhalik. Hal ini diungkapkan dalam istilah da mapa turukungu liida-da ma parapangu pekada artinya mereka yang menyampaikan segala pesan, hasratdan keinginan (umat manusia secara tepat dan benar kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Pendapat lain dikemukakan oleh Nico Wunga, seorang tokoh adat dari kampungTambera. Menurut beliau, marapu kemungkinana berasal dari kata mappi = duduk rapi,serta rappi = tersembunyi. Berepa tokoh adat yang kami wawancarai cenderung memilikipandangan serupa, menurut mereka marapu adalah sesuatu yang tersembunyi dandisakralkan dan umumnya diasosiasikan dengan kelamin pria, itu sebabnya pria Sumbazaman dulu selalu menutup rapat kemaluan mereka, pososi duduk pun diatur sedemikianrupa agar tertutup rapi. Mengapa kelamin pria? tidak ada yang bisa memberikan jawabanpasti. Mungkin terkait fungsi organ itu yang dalam kepercayaan Sumba dipercaya sebagaipemberi bentuk pada janin dalam kandungan (ama ma palalagu).

Menurut beberapa kalangan, marapu sebetulnya tidak secara khusus mengacupada dewa atau roh-roh leluhur seperti yang kini menjadi asumsi umum. Marapu lebihberupa sifat yang dimiliki suatu benda, baik yang kasat mata maupun yang tak terlihat.Bagi orang Sumba, segala sesuatu yang memiliki kekuatan supranatural, yang tak bolehdisentuh, tak boleh dipajang sembarangan, dan dianggap keramat (pamali), adalah marapu.Roh leluhur disebut marapu, karena dalam sistem kepercayaan tradisional Sumba,roh-roh ini diyakini telah hidup dekat dengan Sang Pencipta, memiliki kemampuan serupadewa dan pada akhirnya menjadi penghubung turunan mereka yang masih hidup denganSang Maha Kuasa. karena posisi dan kemampuan mereka lah maka roh-roh tersebut dihormati,disucikan dan kemudian disebut dengan istilah marapu, bukan marapu itu sendiri.

Lalu mengapa sistem kepercayaan tradisional Sumba disebut Marapu? Darisekian wawancara yang kami lakukan tidak banyak Nara Sumber yang dapat memberikanjawaban pasti. Istilah marapu sepertinya diadopsi begitu saja sebagai nama kepercayaanini. Mungkin karena nyaris semua ritual dalam sistem kepercayaan ini selalu melibatkanroh-roh leluhur yang disebut marapu, maka jadilah ia sebagai nama kepercayaanjuga. Sebetulnya masalah nama tidak terlalu penting untuk diperdebatkan, sah-sah sajaia disebut marapu karena pada dasarnya roh nenek moyang (marapu) memang memiilkiperan sentral dalam sistim kepercayaan tradisional Sumba. Pertanyaan yang lebih pentingadalah apa sebetulnya inti ajaran ini?

Pada dasarnya semua Nara Sumber dan literatur yang ada umumnya sepakatbahwa Marapu merupakan suatu sistem kepercayaan yang meyakini adanya kekuatantertinggi yang disebut Mawolu-Marawi, secara harafiah berarti yang membuat dan yangmenciptakan. Mawolu-Marawi adalah sesuatu yang abstrak. Wujud dan namanya tak diketahuitapi kehadirannya diyakini, sehingga orang Sumba menyebutnya juga dengan istilahndapa nunga ngara, ndapa teki tamo: tak disebut nama, tak ada bandingannya. Mawolu-Marawi diyakini sebagai sumber kehidupan yang mampu memberikan kesalamatandan ketentraman bagi umat manusia sekaligus sanggup mendatangkan malapetakabagi yang tak selaras dengan keinginannya. Saking sakral dan jauhnya kedudukan Mawolu-Marawi, tak seorang pun bisa berkomunikasi dengannya secara langsung.Untukmenyampaikan permohonan dan mengetahui kehendak-kehendaknya diperlukan perantara.Dan karena roh para leluhur diyakini menjalani kehidupan baru ditempat yang dekatdengan Sang Pencipta tersebut, maka roh-roh inilah yang menjadi perantara mereka.Ritual-ritual peribadatan yang dijalankan pada dasarnya adalah untuk memohon berkatatau mengetahui kehendak Mawolu - Marawi, yang disampaiakn melalui peranta marapu(roh leluhur).

Karena kedudukan Mawolu-Marawi yang sedemikian sakral, bahkan serasa nyaris tabu, lama kelamaan Ia menjadi semacam bayangan kabur dibenak orang kebanyakan. Di lain pihak peran Marapu sebagai perantara otomatis membuat roh-roh ini lebih dekat dengan kehidupan masyarakat, dan tentu saja maha penting, karena tanpa Marapu mustahil mereka bisa terhubung dengan Sang Maha Kuasa. Untuk memanggil dan memahami maksud yang disampaikan Marapu diperlukan ritual-ritual khusus, maka jadilah Marapu sebagai obyek pemujaan. Hal-hal yang demikian membuat orang di luar komunitas ini menganggap Marapu adalah sesembahan mereka, padahal bagi penganutnya sendiri, Marapu adalah perantara, roh nenek moyang yang telah menjadi setengah dewa (semidevine anchestral spirits).

Menurut Nggodu Tunggul (2003) Marapu biasanya disimbolkan dengan emas dan perak yang disebut Tanggu Marapu (bagian leluhur). Tanggu marapu dibedakan menjadi Tanggu Marapu la Hindi (bagian leluhur yang tersimpan di atas loteng) dan Tanggu Marapu la Kaheli (bagian leluhur di balai-balai). Emas yang digolongkan sebagai Tanggu Marapu la Hindi tidak boleh disentuh sembarang orang kecuali mereka yang telah ditahbiskan untuk itu. Menurut keyakinan setempat roh-roh leluhur hadir dalam emas itu, dan lama kelamaan seolah dianggap sebagai marapu itu sendiri. Sedangkan Tanggu Marapu la Kaheli adalah emas-emas pusaka yang menjadi milik suatu klan (bukan milik pribadi), umumnya berupa perhiasan dan sering dipamerkan dalam upacara-upacara kematian dan ritual adat lainnya. Ada pun marapu-marapu lainnya diwujudkan dalam simbol-simbol seperti batu, kayu, pohon besar dan lain sebagainya. Marapu-marapu jenis ini ada yang bersifat baik seperti Marapu Wanno (marapu penjaga kampung), namun ada pula yang jahat misalnya Marapu Kaballa (marapu kilat).

Pulau sumba setelah Kolonial

Home > Sejarah Sumba > Setelah Kolonial
Secara resmi masa pemerintahan Belanda di Indonesia berakhir pada tanggal 8 Maret 1942 dengan di tandatanganinya penyerahan kekuasaan kepada Jepang di lapangan terbang Kalijati, Jawa Barat. Belanda takluk kepada Jepang sebagai akibat langsung kekalahan pasukan sekutu dari pasukan as dalam paruh pertama Perang Dunia II. Masa Pemerintahan Jepang di Indonesia singkat saja, hanya 3,5 tahun, dan dalam masa sesingkat itu Jepang nyaris tak melakukan perubahan apapun terhadap sistem pemerintahan yang telah ditetapkan Belanda, hanya nama-namanya saja yang diubah ke dalam bahasa Jepang.

Pada masa pemerintahan Jepang pulau Sumba kembali menjadi satu afdeling yang disebut Sumba Ken. Sumba Ken terbagi menjadi dua bagian yaitu Tobu Sumba Bunken (Sumba Timur) dengan ibukota Waingapu, dan Sebu Sumba Bunken (Sumba Barat) dengan ibukota Waikabubak. Militer Jepang yang hadir di pulau Sumba adalah Angkatan Laut dan Angkatan Darat, yang dikonsentrasikan pada wilayah-wilayah yang akan dijadikan lapangan udara seperti Kawangu (dekat Mau Hau), Tilikadu (Melolo) dan Kererobo (dekat Tambolaka). Untuk memuluskan pembangunan prasarana militer Jepang seperti lapangan terbang, parit dan jembatan, ribuan penduduk diwajibkan bekerja paksa dalam suasanan yang amat menekan, sehingga banyak diantara mereka yang harus kehilangan nyawa. (Pura Woha: 2008)

Seperti mulanya, akhir pemerintahan Jepang di Indonesia juga merupakan akibat langsung PD II yang akhirnya berbalik arah, pasukan as dikalahkan pasukan sekutu. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang dipaksa menyerah tanpa syarat setelah Amerika menjatukan bom atom di dua kota besar Hiroshima dan Nagasaki. Dengan kekalahan ini, pasukan Jepang yang berada di seantero negeri segera ditarik mundur, begitu pula dengan yang ada di Sumba. Pemerintahan Jepang segara diambil alih oleh sekutu. Rombongan sekutu yang diwakili oleh Australia masuk ke Sumba pada bulan November 1945, dan seperti yang terjadi di belahan lain Indonesia, mereka dibocengi oleh Belanda yang ingin kembali berkuasa. Namun tentu tidak semudah itu karena bangsa Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 terus mengadakan perlawanan.

Dengan niat memperlemah perlawanan rakyat dan mempermudah kontrolnya, Belanda berusaha mengkotak-kotakkan wilayah Indonesia ke dalam beberapa negara bagian, atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘negara-negara boneka’. Salah satunya adalah Negara Indonesia Timur dan Sumba tergabung didalamnya. Tetapi bangsa Indonesia tetap kokoh menuntut kemerdekaan yang akhirnya bisa direbut kembali lewat sejumlah pertempuran dan negosiasi. Yang terbentuk setelah itu adalah Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1945) lalu Negara Kesatuan Republik Indonesia (17 Agustus 1950).

Ada pun Sumba, sebagai bagian dari republik yang baru terbentuk itu, senantiasa mengikuti dinamika perubahan yang terjadi. Pada awalnya Sumba merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara yang antara lain mencakup pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Alor, Pantar, Lomblen, Adonara, Timor, Rote, Sabu dan lain-lain. Lalu, seiring terjadinya pemekaran Nusa Tenggara menjadi tiga provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, maka Sumba, dengan pertimbangan kesamaan agama mayoritas yang menjadi dasar penggolongan provinsi baru, menjadi bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kala itu ada 12 Kabupaten yang tergabung dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur termasuk Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Timur. Keduanya diresmikan pada tanggal 13 Desember 1958.

Masa Kolonial Pulau sumba

Home > Sejarah Sumba > Masa Kolonial

MASA KOLONIAL


SELAMA berabad-abad, posisi Sumba yang dari segi politik relatif terisolasi serta minimnya sumber daya alam menyebabkan pulau ini nyaris tidak menarik minat dunia luar. Memang ada sejarah panjang tentang pertukaran ide-ide dan benda material dalam jumlah kecil di masa kerajaan Majapahit. Sumba pernah pula disebut sebagai tanah jajahan, tapi pada kenyataannya tidak ada pengaruh atau kendali berarti dari daerah lain yang berkuasa terhadap wilayah ini. Bima di Sumbawa serta Ende di Flores melakukan barter dan ada sedikit pengaruh budaya, tapi tidak ada kontrol politik terhadap bangsawan-bangsawan yang berkuasa di Sumba.

Selanjutnya datang bangsa Portugis yang ingin menancapkan kekuasaan dan menguasai perdagangan. Dalam penelitian yang dilakukan Joanna Mross di Wanokaka, yang ia tuangkan dalam makalah berjudul Settlements of The Cockcatoo: From Substansce to Style (1994-95), warga kampung Waikawolu Wawa dan Praigoli masih mengingat cerita-cerita tentang serangan Portugis terhadap Wanokaka pada tahun 1819. Mereka menyerbu sejumlah kampung, menghancurkan batu-batu kubur besar milik para bangsawan dan membawa para tawanan untuk dijual sebagai budak. Dengan pengalaman pertama yang begitu buruk tak heran jika bangsa Barat beserta agama dan perdagangannya umumnya ditolak oleh masyarakat Sumba. Pada awal abad ke 18, giliran VOC yang melakukan sejumlah perdagangan dengan penduduk Sumba melalui perantara orangorang Ende dan pada akhirnya menancapkan kekuasaannya di Sumba bagian tenggara melalui para bangsawan feodal.

Jauh sebelum munculnya kedudukan Belanda di pulau Sumba, pada tahun 1756 pernah dilakaukan kontrak dagang antara Komisaris Paravicini dengan 48 raja di daratan Timor, Alor, Flores, Solor, juga Sumba. J. A. Paravicini adalah Komisaris Tinggi VOC Belanda yang diutus Pemerintah Pusat di Batavia untuk menyelidiki kebenaran berita yang mengatakan bahwa Portugis dan Perancis hendak menyerang Timor dan pulau-pulau di sekitarnya, juga untuk memperbaharui perjanjian VOC dengan raja-raja di kawasan itu. Kontrak itu dilakukan pada tanggal 9 Juni di Kupang. Ada 8 orang raja Sumba yang ikut termuat dalam perjanjian tersebut, namun mereka tidak hadir secara fisik, perjanjian tertulis itu ditandatangani oleh Raja Mangili yang kebetulan berada di Kupang dan mengajukan diri untuk menandatangani kontak mengatasnamakan raja-raja lainnya. Akan tetapi raja Sumba yang lain kemudian menolak perjanjian itu karena mereka merasa bukan bawahan raja Mangili. Sebetulnya kontrak dagang tersebut bukan semata-mata menyangkut persetujuan dagang yang memberi monopoli kepada Belanda tapi sekaligus suatu pasal politik dimana para raja itu mengakui kedaulatan raja Belanda atas wilayah pemerintahannya. Dengan menandatangani kontrak tersebut berarti secara de jure wilayah dan pemerintahan mereka berada dibawah pemerintah kolonial, walaupun secara de facto raja-raja tersebut tetap berdaulat ke dalam, lebih-lebih di Sumba yang jauh dari jangkauan komunikasi (Umbu Pura Woha, 2008).

Meskipun tidak pernah menginjakkan kaki di Pulau Sumba, Paravicini memberikan gambaran yang sangat positif tentang pulau itu. Namun Pemerintah Pusat tidak percaya begitu saja sehingga mengirim seorang pejabat lain, yaitu Opperhoofd Beijnon, untuk menyelidiki keadaan di Sumba. Laporan Beijnon mengatakan Sumba tidak aman karena sering terjadi perang antar suku tapi ada potensi cendana, hamba bermutu baik, arang serta kapas. Setelah itu pemerintah pusat beberapa kali lagi mengirimkan utusannya ke pulau Sumba. Namun sesudah tahun 1775 tidak ada lagi berita tentang Sumba.
Baru pada tahun 1838, ketika sebuah kapal Inggris terdampar di Lamboya Pemerintah Belanda kembali menaruh perhatian terhadap Sumba. Muatan dan awak kapal yang terdampar itu dirampas, walau pada akhirnya para penumpang kapal yang menjadi tawanan berhasil melarikan diri ke Makasar dengan menggunakan perahu Ende. Bukti peninggalan kapal Inggris yang karam itu, berupa jangkar kapal yang dalam istilah lokal disebut watu kanaga tena hingga kini masih ada di Lamboya, tepatnya di kampung Malisu.

Setelah mendengar kejadian kapal karam itu, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia yang khawatir kalau-kalau Inggris menduduki pulau itu, memerintahkan Residen D.J. Van den Dungen Gronovius pergi ke Pulau Sumba untuk melakukan penyelidikan serta menetapkan cara untuk menguasai pulau tersebut. sang Residen mengutus seorang keturunan Arab bernama Syarif Abdulrahman bin Abubakar Algadrie mewakili dirinya. Setelah bertandang ke Sumba, Syarif Abdulrahman bin Abubakar Algadrie melaporkan terbuka peluang besar untuk menguasai Pulau Sumba. Syarif Abdulrahman bin Abubakar Algadrie lantas diangkat sebagai wakil dagang pemerintah, ia menetap di Sumba dan berdagang hewan dengan modal dari Residen. Dari hasil perdagangan itu Syarif Abdurrahman bin Abubakar Algadrie mendapatkan keuntungan besar. Pada tahun 1843 ia mendirikan kota Waingapu dan berhasil mengembangkan kota itu menjadi salah satu pelabuhan dagang penting di luar pelabuhan Kupang (Oe.H.Kapita1976). Walau telah menempatkan wakil dagangnya di pulau Sumba, Pemerintah Belanda belum tertarik untuk menduduki pulau itu, baru pada tahun 1866 pemerintah menempatkan Samuel Roos sebagai Kontrolir di Waingapu. Ia adalah kontrolir pertama di pulau Sumba yang berhasil menjalin hubungan baik dengan penguasa dan penduduk setempat.

Di mata penguasa Belanda, Pulau Sumba dianggap sebagai pulau yang tidak aman karena banyak terjadi perang antar suku dan perdagangan budak. Oleh karena itu penguasa Belanda berupaya melakukan penertiban dan pengamanan. Pemerintah Belanda akhirnya mulai mengambil langkah-langkah untuk mengamankan kehidupan di pulau Sumba. Di tahun 1879 pada saat B. E. J. Roskott menjabat sebagai kontrolir di Sumba, diusulkan agar ditempatkan dua Post Houder (Pos Penjagaan) di Pulau Sumba. Di Mamboro untuk Sumba Barat dan di Melolo untuk Sumba Timur. Usul itu disetujui, lalu Ehrich ditempatkan di Mamboro dan F. Sick di Melolo. Dalam tahun itu juga pulau Sumba dibagi menjadi dua wilayah (onderafdeling) yaitu Onderafedeling Sumba Timur berpusat di Melolo dan Onderafedeling Sumba Barat berpusat di Mamboro. Menurut laporan Ehrich saat menjabat Post Houder Mamboro, wilayah (landschaap) Sumba Barat meliputi: Mamboro, Laura, Kodi, Wewewa, Tana Maringi, Lolina, Wanukaka, Lamboya, Anakalangu, Pondaku, Tana Righu dan Palamodu.

Kekuasaan Belanda pada paruh pertama abad ke 19 sebenarnya tidak bersifat interventif dan tidak menyukai operasi militer yang memakan biaya dan resiko adminisSwapraja- swapraja ini dipimpin oleh seorang Kepala Swapraja yang lebih sering disebut raja. Kekuasaan mereka disahkan oleh Penguasa Belanda melalui penandatanganan kontrak korte verklaring, dimana masing-masing raja diberi tongkat kebesaran (tokko) serta secarik bendera sebagai tanda kekuasaan. Raja yang mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda harus mengakui kedaulatan penguasa Belanda dan salah satu tugas pentingnya adalah menarik pajak.

Dalam buku Sejarah Perjuangan Benaka Hurka dan Tadu Moli Melawan Belanda di Lamboya (2010) Munandjar Widyatmika, dkk menulis bahwa di Sumba Barat kebijakan pajak diberlakukan mulai tahun 1910. Pajak ditarik melalui para kepala desa dalam bentuk pajak kepala dan pajak ternak. Ada pula pajak ekspor impor yang ditetapkan di setiap pelabuhan. Kebijakan pajak ditetapkan setelah raja yang bersangkutan menanda tangani kontrak korte verklaring S dan kontrak pajak. Kontrak pajak disebut verklaring betreffende belastingheffing. Walaupun tidak semua raja menandatangani kontrak pajak namun dengan adanya kontrak korte verklaring maka setiap kerajaan dianggap mempunyai kewajiban membayar pajak. Sebagai imbalannya setiap raja dan wakil raja diberi gaji oleh Belanda. Kontrak pemberlakuan pajak menyebabkan rakyat menderita. setiap penduduk dewasa wajib membayar uang pajak, dan karena pada waktu itu uang tunai belum beredar di kalangan masyarakat pedesaan maka pajak dipungut dalam bentuk barang seperti beras, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan telur. Baru beberapa tahun kemudian digunakan uang logam. Beban pajak yang berat pada akhirnya memicu berbagai gerakan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Di Sumba Barat gerakan perlawanan terjadi sebanyak dua kali yakni, perang Malisu pada tahun 1911 dan perang Tadu Moli tahun 1914. Keduanya berlokasi di Lamboya, dipelopori oleh beberapa Suasana saat penarikan pajak oleh Pemerintah Belanda trasi. Politik Pasifikasi kala itu lebih ditekankan untuk menegakkan ketertiban melawan anarkhi dan memperkuat wibawa raja-raja setempat. Menciptakan orde, rust en welvaart (tertib, aman dan sejahtera) tanpa menyingkirkan kepemimpinan raja setempat untuk mempermudah pembentukan pemerintahan sendiri (zelf bestuur) yang direstui Belanda. Namun pada tahun 1890-an muncul semangat ofensif baru untuk menegakkan citra kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jendral Van Heuts menyebut semangat baru ini dengan istilah membangunkan wilayah Timur Besar dari tidur lelap Raya (de Moor, 1989). Pada tahun 1904 van Heutz mengeluarkan kebijakan Buitengewesten. Dalam kebijakan ini Pemerintah Belanda menaruh perhatian terhadap wilayah-wilayah di luar Jawa terutama yang belum ditaklukkan oleh Belanda. Alasannya berkesan etis tapi tujuan sesungguhnya adalah untuk membenarkan ofensif militer di wilayah pedalaman. Dengan dalih menegakkan kewibawaan, memberantas perbudakan dan menghentikan perang antar suku, pemerintah Belanda melakukan berbagai upaya mempercepat penaklukkan di wilayah-wilayah luar Jawa termasuk wilayah Keresidenan Timor dan Daerah Taklukannya.

Menindaklanjuti kebijakan Buitengewesten di keresidenan Timor tersebut, Pemerintah Belanda mulai melakukan penaklukan seluruh Pulau Sumba. Kebijakan pengamanan Pemerintahan kolonial ini dipimpinan Letnan I Rijnders sebagai Gezaghebber Sipil dan Militer Pulau Sumba yang berkedudukan di Waingapu. Pengamanan Pulau Sumba berlangsung selama enam tahun yakni dari tahun 1906-1912. Dalam upaya memperluas wilayah kekuasaan di Sumba Barat, Pemerintah Belanda menempatkan Post Houder di dua tempat. Satu di Mamboru dibawah pimpin Sersan Abbenk dan satu lagi di Waikabubak dibawah pimpin Letnan de Neeve.

Selanjutnya dilakukan penataan pemerintahaan dengan menggabung kerajaankerajaan yang ada mejadi: Kerajaan Loura, Kerajaan mamboro, Kerajaan Kodi dan Kerajaan Wewewa. Pemerintahan Belanda di pulau Sumba kemudian diserahkan pada A.J.L. Couvreur sebagai Pemerintah Sipil dengan status sebagai Kontrolir, kemudian diangkat sebagai Asisten residen Sumba. Pada masa pemerintahannya, pulau Sumba ditetapkan sebagai satu afdeeling dalam Keresidenan Timor dan Daerah Taklukannya, dan dibagi menjadi Onder Afdeeling Sumba Timur dengan ibu kota Melolo, Onder Afdeeling Sumba Tengah dengan ibu kota Waingapu, Onder Afdeeling Sumba Barat Utara dengan ibu kota Karuni, dan Onder Afdeeling Sumba Barat Selatan dengan ibu kota Waikabubak. Pada tahun 1922 Onder Afdeeling Sumba Timur dan Onder Afdeeling Sumba Tengah digabung dalam Onder Afdeeling Sumba Timur dengan ibu kota Waingapu, sedangkan Onder Afdeeling Sumba Barat Utara dan Onder Afdeeling Sumba Barat Selatan digabung menjadi Onder Afdeeling Sumba Barat dengan ibu kota Waikabubak (Widyatmika: 2010).

Pada masa pemerintahan Belanda, pulau Sumba terbagi kedalam 16 kerajaan dengan pemerintahan yang berbentuk swapraja. Tujuh diantaranya terletak di Sumba Timur dan sembilan lainnya di Sumba Barat, yaitu: Kerajaan atau Swapraja Kodi, Laura, Wewewa, Laboya, Anakalang, Wanokaka, Memboru, Loli, dan Umbu Ratu Nggay.

tokoh tradisional antara lain Benaka Hurka dan kawan-kawan di Malisu serta Tadu Moli dan kawan-kawan di Sodan.

Untuk mendapatkan kepastian pembayaran pajak, pemerintah Belanda memerlukan kepastian jumlah penduduk dewasa dan kepastian penduduk suatu desa. Maka Belanda pun mulai melakukan sensus penduduk di beberapa tempat, serta resetlement penduduk dari pegunungan ke lokasi di bawahnya atau di dekat jalan raya untuk memelihara perbaikan jalan. Pembangunan jalan kala itu berorientasi pada kepentingan militer dan pertahanan sehingga diberlakukan sistem kerja rodi untuk membangun jalan yang disebut heredientens. Dalam satu tahun seorang lelaki dewasa dikenakan kerja rodi sekitar 35 hari. Sering kali lokasi kerja rodi berjauhan dengan tempat tinggal mereka sehingga dianggap sangat merugikan dan menyengsarakan penduduk. Sedangkan sensus penduduk berlaku sangat variatif. Pada tahun 1863 telah ada sensus penduduk di pulau Rote. Namun secara umum sensus penduduk mulai diperkenalkan di keresidenan Timor pada tahun 1930.

Melalui Sumba Kontrak, pemerintah Belanda juga memperkenalkan sapi ongole di Sumba yang diberikan secara bergulir dalam bentuk sistem kopel. Biasanya satu paket terdiri dari 8 betina dan 1 ekor pejantan. Jika di lokasi yang bersangkutan sudah berkembang, maka ternak tersebut didistribusikan lagi ke tempat lain dengan sistem yang sama. Biasanya distribusi dilakukan di lokasi para bangsawan yang memiliki padang penggembalaan. Kebijakan perbaikan kesejahteraan masyarakat ini seolah-olah Belanda berbaik hati melaksanakan kepentingan rakyat. Tetapi sebenarnya menyangkut kepentingan penguasa Belanda sendiri. Sebab kalau pendapatan para petani berkembang maka upaya membayar pajak untuk kepentingan Belanda diharapkan berjalan lebih lancar karena penduduk memiliki uang untuk membayar pajak tersebut. Untuk meningkatkan kesehatan penduduk nantinya juga dilakukan kegiatan imunisasi cacar bagi penduduk. Kegiatan imunisasi cacar di Timor diperkenalkan oleh residen J.A.Hazaart.

Pada tahun 1913 wilayah Sumba Barat dibagi dalam dua bagian yakni: Sumba Barat Laut meliputi Loura, Mamboro, Kodi, Mba Ngedo, dan Wewewa dengan ibu kota di Karuni. Dan Sumba Selatan Daya meliputi Lolina, Wanukaka, Lamboya, Anakalang dan Lawonda dengan ibu kota di Waikabubak (Kapita, 1976).

Kerajaan Mamboro - Alexander Umbu Goda

Home > Sejarah Sumba > Kerajaan > Kerajaan Mamboru

KERAJAAN MAMBORU

Kerajaan Mamboru dikukuhkan dengan Korte Verklaring tanggal 28 September 1916. Sebelum itu Kerajaan Mamboru diperintah oleh raja Umbu Pombu Saramani. Beliau meninggal dunia pada tahun 1915, ketika itu putranya, Umbu Mbatu Pakadeta alias Umbu Tuaranjani alias Umbu Muhama masih kecil, sehingga untuk sementara kedudukan raja digantikan oleh putra saudara sepupunya, Umbu Karai. Umbu Muhama mengambil alih kekuasaan pada tahun 1929 setelah Umbu Karai meninggal dunia. Namun kekuasaannya tidak bertahan lama, karena dianggap kurang cakap, pada tahun 1932 Umbu Muhama digantikan oleh saudaranya, Umbu Dondu Rawambaku. Umbu Dondu juga tidak bertahan lama. Ia terlibat dalam suatu perkara hukum sehingga pada tahun 1934 dicopot dari jabatannya dan digantikan olehTimotius Umbu Tunggu Bili sampai bergantinya sistem pemerintahan di tahun 1962. Sebelum tahun 1915 wilayah Bolubokat merupakan bagian kerajaan Mamboru namun kemudian digabung dengan kerajaan Umbu Ratu Nggay. Kerajaan Mamboru sendiri mendapat tambahan wilayah Tana Righu yang semula merupakan bagian kerajaan Loura.

Walau tokoh-tokohnya tetap memiliki pengaruh kuat di kalangan masyarakat, sebagaimana adanya mereka sebelum dikukuhkan sebagai raja oleh Belanda, namun wacana tentang kerajaan perlahan memudar seiring berakhirnya kekuasaan Belanda, terlebih lagi setelah terbentuknya pemerintahan Kabupaten, dimana sebagian besar wilayah yang tadinya disebut kerajaan beralih bentuk menjadi kecamatan.

Kerajan wewewa Alexander Umbu Goda

Home > Sejarah Sumba > Kerajaan > Kerajaan Wewewa

KERAJAAN WEWEWA

Kerajaan ini dikukuhkan dengan Korte Verklaring tanggal 23 Desember 1013. Kerajaan ini terdiri dari beberapa wilayah adat, yaitu Lewata, Mangutana, Mbaliloko, Pola, Weemangura, Taworara, Rara, Ede dan Tanamaringi. Pada saat Korte Verklaring ditandatangani yang menjadi raja adalah Mete Umbu Pati. Setelah meninggal dunia beliau digantikan oleh putranya, Mbulu Engge. Tahun 1934 Mbulu Engge dibuang ke Sumbawa Besar karena terlibat perkara hukum. Sejak itu kerajaan Wewewa dibagi menjadi tiga wilayah kesatauan yang semuanya berada di bawah sebuah Komisi Pemerintahan yaitu: wilayah Lewata-Mangutana yang diperintah oleh raja Wada Mbombo, wilayah Weemangura dengan raja bantu Gidion Mbulu serta wilayah Pola (Palla) dengan raja bantu Jakub Inangele. Komisi ini berada dibawah pengawasan raja Louli, koki Umbu Daka. Setelah kembali dari pembuangan, Mbulu Engge kembali terpilih menjadi raja Wewewa sampai terjadinya perubahan sistim pemerintahan di tahun 1962.

kerajaan Kodi Alexander Umbu Goda

Home > Sejarah Sumba > Kerajaan > Kerajaan Kodi

KERAJAAN KODI

Kerajaan Kodi dikukuhkan dengan Korte Verklaring tanggal 3 Mei 1913. Pemerintah Belanda sebetulnya sudah mengajukan penandatangan Korte Verklaring pada tahun 1908 namun di tolak oleh Rato Loghe Kandua, raja Kodi Bokol yang saat itu berkuasa. Penolakan ini mendapat reaksi keras dari Belanda dan pada akhirnya memicu munculnya perlawanan rakyat dibawah pimpinan Wona Kaka. Sebelum tahun 1912 di wilayah Kodi terdapat dua kerajaan yaitu kerajaan Kodi Bokol dan kerajaan Mbangedo. Pada tahun 1915 wilayah Rara dan Ede dilepas dari kerajaan Mbangedo dan digabungkan dengan kerajaan Wewewa, begitu pula wilayah Gaura digabungkan dengan kerajaan Lamboya. Pada tahun 1919 raja Mbangedo, Rija Kanda, meninggal dunia dan digantikan oleh Rangga Kura. Tahun 1929 Rangga Kura digantikan oleh Rya Bokola samapi tahun 1931. selanjutnya kerajaan Mbangedo digabung dengan kerajaan Kodi dibawah kekuasaan raja Kodi waktu itu, Dera Wula. Untuk wilayah kerajaan Mbangedo sendiri diangkat seorang raja bantu, yaitu Tari Loghe. Sewaktu beliau wafat digantikan oleh Hermanus Rangga Horo. Raja bantu ini kemudian diangkat menjadi raja Kodi menggantikan Dera Wula yang meninggal dunia pada tahun 1945. Hermanus Rangga Horo menjabat sebagai raja Kodi sampai terjadinya perubahan sistim pemerintahan.

KERAJAAN LABOYA Alexander Umbu Goda

KERAJAAN LABOYA

Kerajaan ini dikukuhkan dengan Korte Verklaring tanggal 23 Desember 1013. Pada tahun yang sama Kedu Moto diangkat menjadi raja. Seperti Kerajaan Louli, Kerajaan Lamboya juga terdiri dari tiga wilayah kekuasaan adat yakni Lamboya Deta, Lamboya Wawa dan Patiyala. Pada tahun 1915, wilayah Garo atau Gaura yang tadinya berada di wilayah Kerajaan Mbangedo dilepas dan digabung dengan wilayah Kerajaan Lamboya. Di wilayah ini pernah terjadi perlawanan rakyat dibawah pimpinan Tadu Moli sebagai reaksi atas pajak yang tinggi dan kerja paksa. Letnan de Neeve tewas ditempat ini ketika sedang memungut pajak. Pada tahun 1924, raja Kedu Moto terlibat suatu perkara hukum dan dibuang keluar pulau. Sejak saat itu masing-masing wilayah adat diperintah oleh seorang raja bantu atau regent, yaitu: Eda Bora di Lamboya Deta, Jewu Gara di Lamboya Wawa dan Mati Kaba di Patiyala. Semuanya merupaka bagian dari suatu Komisi Pemerintahan Kerajaan Lamboya. Setelah Perang Dunia II, yang bertahan tinggal raja Edu Bora yang kemudian digantikan oleh putranya, Songa Lero.

KERAJAAN WANUKAKA

Home > Sejarah Sumba > Kerajaan > Kerajaan Wanukaka

KERAJAAN WANUKAKA

Kerajaan Wanukaka dikukuhkan dengan Korte Verklaring tanggal 12 Mei 1913 (10 Desember 1914) yang ditandatangani oleh raja Baju Padedangu. Sebelumnya wilayah Wanukaka berada dibawah kekuasaan raja Mawu Madoli, kemudian digantikan oleh raja Ludju Maramba. Setelah Ludju Maramba wafat kedudukannya digantikan oleh raja Baju Padedangu. Tahun 1928 Raja Baju Padedangu menyusul keharibaan Sang Pencipta dan digantikan oleh Raja Goling Manyoa yang menjabat sampai tahun 1956. Ia digantikan oleh adiknya, Lawu Mawu sampai terjadinya perubahan sistim pemerintahan.

kerajan Lauli Alexander Umbu Goda

Home > Sejarah Sumba > Kerajaan > Kerajaan Lauli

KERAJAAN LAULI

Kerajaan Lauli dikukuhkan dengan Korte Verklaring tanggal 25 April 1923 (8 September 1912). Kerajaan ini terdiri atas tiga wilayah adat yakni Lauli Bodo (atas), Lauli Bawa dan Waibanggga. Sebelum tahun 1912 raja Kerajaan Lauli adalah Umbu Ngailu Beku, kemudian digantikan oleh Dangi Lade, raja Lauli Bawa. Setelah raja Dange Lade meninggal dunia di tahun 1920, di masing-masing wilayah adat diangkat seorang raja kecil atau raja bantu (regent) tersendiri yakni Raja Toda Leru untuk wilayah Lauli Bodo, Raja Keba Buningani di wilayah Lauli Bawa dan Raja Giku Umbu Wolika untuk wilayah Waibangga. Ketiganya merupakan suatu Komisi Pemerintahan Kerajaan Lauli. Pada tahun 1927 raja bantu Louli Bawa, Keba Buningani digantikan oleh raja Koki Umbu Daka. Raja Giku Umbu Wolika dari Waibangga digantikan oleh Raja Lede Mude. Pada tahun 1932 raja Koki Umbu Daka menjadi raja untuk seluruh Kerajaan Lauli sampai Komisi Pemerintahan Kerajaan Lauli dihapus, namun untuk wilayah Waibangga masih diangkat seorang raja bantu yaitu Dato Goro, menggantikan Raja Lede Mude. Tahun 1940 Raja Koki Umbu Daka meninggal dunia dalam suatu kecalakan mobil. Pada tahun 1941 posisinya digantikan oleh raja Saba Ora yang menjabat sebagai raja sampai terjadinya perubahan pemerintahan.

Kerajaan Lawonda Alexander umbu Goda

Home > Sejarah Sumba > Kerajaan > Kerajaan Lawonda

KERAJAAN LAWONDA

Kerajaan ini dikukuhkan dengan Korte Verklaring tanggal 28 September 1916. Pada awalnya Kerajaan Lawonda melingkupi suatu wilayah adat yang tidak seberapa luas. Di tahun 1915, wilayah Mbolubokat dilepas dari kerajaan Mamboru dan digabungkan dengan kerajaan Lawonda. Begitu juga dengan wilayah Lenang, Soru dan lakoka yang semula berada dalam wilayah kerajaan Napu digabungkan dengan kerajaan Lawonda. Selanjutnya wilayah Wairasa dan Parewatana juga dilepas dari kerajaan Anakalang dan digabungkan dengan kerajaan Lawonda. Wilayah kerajaan inipun menjadi sangat luas dan berganti nama menjadi kerajaan Umbu Ratu Nggay, mengikuti nama seorang leluhur yang dianggap dapat mewakili seluruh wilayah gabungan itu.

Raja Umbu Ratu Nggay yang pertama adalah Umbu Siwa Sambawali I, yang sebelumnya menjabat sebagai raja Lawonda. Beliau wafat di tahun1932 dan digantikan putranya, Umbu Mbili Nggemunasu. Karena dianggap kurang cakap, ia diberhentikan dan diganti oleh adiknya, Umbu Tipuk Marisi alias Umbu Siwa Sambawali II. Di tahun yang sama Umbu Tipuk Marisi dilantik sebagai Bupati Kepala Daerah/Ketua Dewan Raja-raja Sumba dan Habil Hudang ditunjuk mewakili beliau menjalankan pemerintahan seharihari di Umbu Ratu Nggay. Pada jaman kemerdekaan Umbu Tipuk Marisi dipilih menjadi Kepala Daerah pulau Sumba.

Kerajaan Anakalang Alexander Umbu goda

Home > Sejarah Sumba > Kerajaan > Kerajaan Anakalang

KERAJAAN ANAKALANG

Kerajaan Anakalang dikukuhkan dengan Korte Verklaring tanggal 23 Desember 1913. Sebelum itu wilayah Anakalang diperintah oleh Umbu Dangu Pasalang yang berkuasa dari tahun 1892 -1897, kemudian digantikan oleh Umbu Ndongu Ubini Mesa. Tahun 1913 Umbu Ngailu Dedi yang adalah putra Umbu Ndongu Ubini Mesa naik tahta menggantikan ayahnya. Tahun 1927 Umbu Ngailu Dedi meninggal dunia dan digantikan oleh adiknya, Umbu Sappi Pateduk. Selanjutnya Umbu Sappi Pateduk digantikan oleh putranya, Umbu Remu Samapaty yang kelak setelah kemerdekaan menjabat sebagai Bupati Kepala Daerah Sumba Barat selama dua periode.

Kerajaan kerajaan di sumba Alexander Umbu Goda

Home > Sejarah Sumba > Kerajaan

KERAJAAN - KERAJAAN DI SUMBA BARAT

ORANG Sumba umumnya sepakat tidak ada yang namanya kerajaan dalam sistem pemerintahan tradisional mereka. Dan jika dikaji secara mendalam apa yang di sebut kerajaaan di Sumba memang tidak sama persis dengan sistem kerajaan sebagaimana diterapkan di Eropa atau di Jawa. Menurut Pura Woha dan beberapa Nara Sumber lain, pemerintahan tradisional Sumba awalnya berupa sistem Paraingu (kampung besar), hal mana bisa dirunut dari sejarah kedatangan nenek moyang mereka. Pada zaman dulu, setelah rombongan leluhur yang datang ke Pulau Sumba bertambah banyak, mereka mulai membentuk kelompok-kelompok kekerabatan besar (klan) yang didasarkan pada kesamaan asal-usul dan Marapu yang dipuja. Kelompok ini di sebut kabihu . Beberapa Kabihu kemudian bergabung dalam penguasaan tanah atau wilayah tertentu lalu membangun suatu negeri (disebut paraingu dalam bahasa Kambera atau Wanno Kalada dalam bahasa Loli). Selanjutnya, agar kehidupan di paraingu baru tersebut dapat berjalan dengan tertib, kabihu-kabihu yang ada melakukan musyawarah. Mereka menetapkan suatu tata cara hidup yang disebut nuku-hara (hukum dan cara). Tugas-tugas menyangkut urusan duniawi dan terutama urusan rohaniawi dibagi-bagi diantara kabisu yang ada. Pembagian tugas ini umumnya didasarkan pada tugas atau peranan leluhur masing-masing kabihu di masa lalu, sehingga menjadi kewajiban kabihu bersangkutan untuk berhubungan dengan para leluhur demi kepentingan masyarakat yang ada sekarang. Dengan demikian, pemerintahan tradisional Sumba pada dasarnya merupakan pemerintahan kolektif, yang dijalankan secara bersama-sama oleh kabisu-kabisu, dibawah pimpinan individu-individu tertentu, yang masing-masing mengemban tugas tersendiri. Semua tunduk pada hukum adat. Semua diayomi dan dilindungi oleh Ina - Ama (secara harafiah berarti Ibu - Bapak). Ina-Ama ini pada dasarnya adalah seorang tokoh yang dihormati, yang bertugas memimpin dan melindungi masyarakat secara umum. Untuk menjadi tokoh seperti itu seseorang tentu harus memeliki beberapa kualifikasi tertentu seperti kekuatan fisik, kecerdasan, kekayaan, dan lain sebagainya. Namun perlu dipahami bahwa Ina-Ama ini tidak sama dengan raja yang memiliki kekuasaan absolut. Seperti julukannya, ia lebih berperan sebagai orang tua yang menengahi segala permasalahan dan mengayomi seluruh keluarga besarnya (masyarakat) dalam suatu sistem kekeluargaan yang bergotong royong. Pengaruh atau kekuasaan Ina-Ama sendiri cenderung terbatas pada paraingunya sendiri, yang saling bersekutu atau bersaing dengan paraingu-paraingu lain yang banyak jumlahnya.

Tidak ditemukan informasi akurat yang menerangkan perubahan sitem paraingu menjadi sitem kerajaan. Yang jelas sistem ini muncul seiring kedatangan bangsa Belanda yang langsung menerapkan sistem pemerintahan yang sama dengan sistem pemerintahan di negara asalnya yaitu sistem kerajaan. Hal ini terkait dengan kebijakan Belanda untuk menguasai suatu wilayah demi kepentingan kekuasaannya, dimana tidak adanya seorang pemimpin yang berkuasa mutlak dalam sistem pemerintahan tradisional agak menyulitkan mereka dalam menancapkan pengaruh. Hal ini tidak hanya berlaku di Sumba tapi juga di wilayah-wilayah Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Untuk mempermudah kontrol, Belanda mulai membangun hubungan dengan para penguasa tradisional. Mereka melakukan kontrak kerjasama, dimana setiap penguasa tradisional yang menandatangani kontrak (sering disebut Kontrak Plakat Pendek atau Korte Verklaring) diakui secara resmi dan disebut raja lalu diberi tongkat sebagai tanda kekuasaan. Dari sinilah kata tokko (tongkat) menjadi populer. Ada dua jenis tongkat yakni tongkat berkepala emas (tokko ndoko) yang diberikan kepada raja utama, dan tongkat berkepala perak (tokko amaho kaka) untuk raja bantu (Widyatmika, dkk, 2011)

Raja yang mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda harus mengakui kedaulatan penguasa Belanda dan salah satu tugas pentingnya adalah menarik pajak untuk kepentingan Belanda. Dengan demikian kedaulatan mereka sebetulnya telah berada dibawah penguasaan bangsa lain, namun secara de facto raja-raja tersebut tetap berdaulat dan sangat dihormati oleh rakyatnya dan melalui mereka Belanda menancapkan kekuasaan kepada seluruh masyarakat. Seperti telah dijelaksan sebelumnya, di wilayah Sumba Barat saat itu terdapat sembilan kerajaan atau swapraja yaitu: Kodi, Laura, Wewewa, Laboya, Anakalang, Wanokaka, Memboru, Loli, dan Umbu Ratu Nggay.
Kerajaan Anakalang
Kerajaan yg berada di barat dari pulau Sumba. Kerajaan Anakalang dikukuhkan dengan Korte Verklaring tanggal 23 Desember 1913
 Kerajaan Lawonda
Di tahun 1915, wilayah Mbolubokat dilepas dari kerajaan Mamboru dan digabungkan dengan kerajaan Lawonda
   
Kerajaan Lauli
Kerajaan ini terdiri atas tiga wilayah adat yakni Lauli Bodo (atas), Lauli Bawa dan Waibanggga
 Kerajaan Wanukaka
Sebelumnya wilayah Wanukaka berada dibawah kekuasaan raja Mawu Madoli, kemudian digantikan oleh raja Ludju Maramba
   
Kerajaan Laboya
Kerajaan Lamboya juga terdiri dari tiga wilayah kekuasaan adat yakni Lamboya Deta, Lamboya Wawa dan Patiyala
 Kerajaan Kodi
Pada tahun 1915 wilayah Rara dan Ede dilepas dari kerajaan Mbangedo dan digabungkan dengan kerajaan Wewewa, begitu pula wilayah Gaura digabungkan dengan kerajaan Lamboya
   
Kerajaan Wewewa
erajaan ini terdiri dari beberapa wilayah adat, yaitu Lewata, Mangutana, Mbaliloko, Pola, Weemangura, Taworara, Rara, Ede dan Tanamaringi
 Kerajaan Mamboru
Kerajaan Mamboru mendapat tambahan wilayah Tana Righu yang semula merupakan bagian kerajaan Loura.
   

upacara adat - Alex umbu Goda

Home > Sosial Budaya > Upacara Adat
UPACARA SIKLUS HIDUP 

SELAIN perkawinan, ada beberapa upacara siklus hidup yang sering dilakukan oleh masyarakat asli Sumba Barat, antara lain:
1.  Gollu Uma/Haba Ngillu/Hai Lara  
Merupakan ritual pemujaan sederhana yang dilakukan kala seorang wanita sedang mengandung. Pada kesempatan ini dua ekor ayam dikorbankan pada Marapu. Satu untuk kesalamatan si calon ibu dan satu lagi untuk kepentingan si jabang bayi agar kelak terlahir sempurna.
2.  Eta Tana Mewa (Upacara kelahiran)  
Merupakan ritual yang mengiringi proses kelahiran. Dalam upacara ini diadakan doadoa kepada marapu agar proses pengeluaran ari-ari dan pemotongan tali pusat dapat berjalan lancar. Ari-ari tersebut biasanya dimasukkan dalam sebuah bakul kecil lalu disimpan dalam lubang kayu. Bayi yang baru lahir dimandikan dalam ramuan tradisional agar kulitnya menjadi bersih.
3.  Pangara ana (Upacara Pemberian Nama)   
Setelah dilahirkan bayi segera diberi nama yang biasanya diambil dari nama-nama leluhur mereka yang telah meninggal. Nama-nama itu disebut satu persatu sambil melihat reaksi bayi. Jika bayi memberi reaksi tertentu saat sebuah nama disebut maka nama itulah yang dipilih. Ritual pemberian nama selalu disertai pemujaan dengan menyembelih dua ekor ayam. Satu ekor diistilahkan sebagai penyeka keringat si bayi (karena si bayi telah berusa dan berhasil menentukan nama) dan satunya lagi untuk menghindari malapetaka. Di beberapa tempat ritual ini seringkali diikuti dengan acara memecahkan buah kelapa oleh rato adat. Jika kelapa terpecah banyak berarti si ibu akan melahirkan banyak anak, jika kelapa tidak pecah berarti anaknya hanya seorang itu saja.
4. Kawutti (Upacara Cukur Rambut)Upacara ini umumnya dilakukan bersamaan dengan upacara pemberian nama. Saudara laki-laki ibu si anak (loka) selalu diundang untuk menghadiri ritual ini, dan tentu saja ia tidak datang dengan tangan kosong. Babi, kain tenun dan pisau cukur adalah hadiah yang harus dibawa serta. Dilain pihak, Ayah si anak pun tak bisa tinggal diam, tapi harus balas meberikan satu ekor kuda. Babi pemberian loka biasanya disembelih sebagi persembahan pada marapu sekaligus dibagikan kepada pihak-pihak yang telah ikut membantu si ibu saat hamil dan melahirkan. Pada zaman dulu ada juga ritual cukur rambut yang dilakukan saat anak-anak memasuki masa remaja, saat itu rambut dicukur separuh kepala, menyisakan sejumput sebagai tanda telah remaja.
5. Burru Mareda (Upaca ra Sunat) 
  Secara harafiah burru mareda berarti turun ke padang sementara yang dimaksudkan adalah acara sunatan yang dilakukan terhadap remaja laki-laki sebagai tanda memasuki masa dewasa. Istilah burru mareda digunakan karena ritual ini biasa dilakukan ditempat terpenci seperti gua atau pondok kecil ditengah padang. Setelah disunat para remaja lelaki tersebut diasingkan di sana selama seminggu, tidak boleh berhubungan dengan keluarga dan hidup mandiri sebagai tanda kedewasaan. Setelah itu mereka kembali ke kampung dalam baluatan busana adat lengkap, dengan parang terselip di pinggang sebagai simbol laki-laki dewasa. Upacara sunatan umumnya dilaksanakan saat wulla poddu (bulan suci) sekitar bulan Oktober - November.
6. Katatu (Tato)
  Banyak kebudayaan lain yang juga mengenal tato. Seni merajah tubuh ini memiliki beragam makna, antara lain makna simbolis: dimana tato dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan religius, sebagai perlambang dan identitas. Makna sosial: dimana tato menjadi tanda kebersamaan dan solidaritas. Makna ekspresi: sebagai bentuk curahan hati. Dan makna estetika: sebagai ungkapan rasa keindahan. Bentuk tato pun bermacam-macam, umumnya dipengaruhi oleh ragam hias yang berkembang pada kebudayaan setempat. Di Sumba Barat tato umumnya dirajah pada tubuh wanita yang telah menikah dan melahirkan anak, dengan demikian memiliki makna simbolis. Dalam jurnal berjudul Arts and Culture of Sumba, Janet Hoskin menyimpulkan bahwa tato perempuan Sumba melambangkan kesuksesan reproduksi serta konstribusi berharga wanita tersebut bagi klan suaminya, yaitu keturunan. Tato juga menegaskan senioritas sang wanita dari wanita lainnya. Masih menurut Hoskin, motif tato pada dasarnya merupakan replika pola hias kain tenun, yang pada dasarnya merupakan replika benda-benda maskulin seperti kerbau, mamoli, dan lain sebagainya. Proses pembuatan tato dilakukan dengan teknik tradisional, menggunaka bahan dan peralatan yang masih sangat sederhana. Dimulai dengan membuat bahan dasar tato dari campuran daun maroto walu (sejenis jeruk kecil) yang berfungsi sebagai perekat, jelaga atau arang sabut kelapa yang berfungsi sebagai pewarna hitam dan sedikit air. Semua bahan dicampur dan diaduk hingga mengental lalu kulit digambari sesuai motif yang diinginkan. Proses selanjutnya adalah merajah gambar di kulit dengan duri pohonmaroto kalada (jeruk besar) hingga mengeluarkan darah, kemudian mengolesinya dengan bahan pewarna, dan terakhir menyemburkan kunyahan daun umakara (rosa mala) yang berfungsi sebagai antiseptik. Karena tekniknya yang menyakitkan pembutan tato semacam ini nyaris tak pernah dilakukan lagi.