Konsep, Pencapaian dan Agenda Kedepan
Oleh Alexander Umbu Goda
A. Pengantar
Pelaksanaan
konsep desentralisasi dan otonomi daerah telah berlangsung lama bahkan sejak
sebelum kemerdekaan, dan mencapai puncaknya pada era reformasi dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan yang
kemudian direvisi masing-masing menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004.
Walaupun
demikian, penerapan konsep desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
sampai saat ini dianggap masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Masih ditemukan banyak kelemahan dalam pelaksanaannya, baik dari kelengkapan
regulasi, kesiapan pemerintah daerah, maupun penerimaan masyarakat sendiri.
Terlepas
dari itu semua, desentralisasi dan otonomi daerah telah menjadi suatu
keniscayaan dengan mempertimbangkan amanat UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa
Indonesia yang telah menegaskan hal tersebut. Dengan demikian, menjadi lebih
berharga kemudian meninjau kembali
pencapaian selama ini dan merumuskan agenda desentralisasi dan otonomi ke
depan. Dengan keterbatasan yang ada, tulisan ini pada intinya mencoba merumuskan
agenda tersebut.
Secara umum, pembahasan terbagi
dalam 3 (tiga) bagian besar yaitu menyajikan konsep desentralisasi dan otonomi
daerah dan pencapaiannya, untuk kemudian diakhiri dengan rumusan agenda ke
depan.
B. Desentralisasi
dan Otonomi Daerah: Konsep dan Penerapannya
B.1 Pengertian dan Filosofi
Secara
formal, berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan pemerintah oleh
Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sementara otonomi daerah
diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004)
Sedikit berbeda dengan pengertian
otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yaitu kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai pertauran perundang-undangan.
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation
of authority. Dengan demikian, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu,
semua beralih kepada penerima delegasi. Berbeda ketika pelimpahan wewenang
secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan
dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator. Sebagai
konsekuensinya bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud.
Semua beralih menjadi tanggungjawab daerah otonom, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat
Walaupun demikian, menurut Devas
(1997), pengertian dan penafsiran
terhadap desentralisasi ternyata sangat beragam, dan pendekatan terhadap
desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain. Tetapi,
secara umum definisi dan ruang lingkup desentralisasi selama ini banyak diacu
adalah pendapat Rondinelli dan Bank Dunia (1999), bahwa desentralisasi adalah
transfer kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, lembaga semi-pemerintah, maupun
kepada swasta. Sebagai pembanding, baik
juga mengacu pendapat Turner dan Hulme (1997) yang berpendapat bahwa
desentralisasi di dalam sebuah negara mencakup pelimpahan kewenangan dalam
rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, dari pejabat atau lembaga
pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau lembaga pemerintahan yang
lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani.
Desentralisasi merupakan alat mencapai tujuan
pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan
keputusan yang lebih demokratis.
Menurut
Suwandi (2005), filosofi dari otonomi daerah adalah (i) eksistensi pemerintah
daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis; (ii) setiap
kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan
demokrasi; (iii) kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik; (iv) pelayanan
pubik dapat bersifat pelayanan dasar maupun bersifat pengembangan sektor
unggulan.
B.2 Tujuan Desentralisasi
Terdapat
3 (tiga) tujuan desentralisasi , yaitu (i) tujuan politik, untuk menciptakan
suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratik berbasis pada
kedaulatan rakyat. Diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, dan
legislatifsecara
langsung oleh rakyat; (ii) tujuan administrasi, agar pemerintahan daerah yang
dipimpin oleh kepala daerah dan bermitra dengan DPRD dapat menjalankan
fungsinya untuk memaksimalkan nilai 4E yakni efektifitas, efisiensi, equity (kesetaraan), dan ekonomi; (iii)
tujuan sosial ekonomi, mewujudkan pendayagunaan modal sosial, modal intelektual
dan modal finansial masyarakat agar tercipta kesejahteraan masyarakat secara
luas (Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan, 2010).
B.3 Faktor Pendorong
Beberapa faktor mendorong terjadinya
desentralisasi khususnya di negara berkembang antara lain berupa (i) kemunduran
dalam pembangunan ekonomi, (ii) tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan
masyarakat, (iii) tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara (Asia
Selatan dan Bosnia), serta (iv) kegagalan pemerintah sentralistik memberikan
pelayanan publik yang efektif (Siddik,
2002). Selain itu berkembangnya sistem multi partai di Afrika, membaiknya
demokrasi di Amerika Latin, transisi dari sistem ekonomi terpimpin ke sistem
ekonomi pasar di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet (Litvak dkk, 1998)
B.4 Elemen Dasar
Otonomi daerah mempunyai 7 (tujuh)
elemen dasar, yaitu kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah,
perwakilan, pelayanan publik dan pengawasan (Suwandi, 2005).
B.5 Kategori Desentralisasi
Rondinelli
(1989) mengklasifikasikan desentralisasi berdasar tujuannya menjadi empat
bentuk, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi
pasar, dan desentralisasi administratif.
(i)
Desentralisasi
potitik, digunakan oleh pakar ilmu politik yang menaruh perhatian
di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil untuk mengidentifikasi transfer
kewenangan pengambilan keputusan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah
atau kepada masyarakat atau kepada lembaga perwakilan rakyat.
Dengan
demikian desentralisasi politik juga melimpahkan kewenangan pengambilan
keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, mendorong masyarakat
dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat bawahan merumuskan dan
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara independen, tanpa intervensi dan
tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi.
Desentralisasi politik
bertujuan memberikan kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan
kepada masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh masyarakat sehingga
dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan dan implementasi
kebijakan. Biasanya desentralisasi dalambidang politik
merupakan bagian dan upaya demokratisasi sistem pemerintahan.Alasan teoritis yang paling sering dikemukakan tentang pentingnya desentralisasi adalah untuk mempertahankan efisiensi alokasi ketika berhadapan
(i)
Desentralisasi
pasar, umumnya digunakan oleh para ekonom untuk menganalisis dan
melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui mekanisme pasar yang
sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar barang-barang dan
pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan menengah, kelompok
masyarakat, koperasi, dan asosiasi swasta sukarela. desentralisasi ekonomi, bertujuan lebih
memberikan tanggungjawab yang berkaitan sektor publik ke sektor swasta.
(ii)
Desentralisasi
administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli
hukum dan pakar administrasi publik untuk menggambarkan hierarki dan distribusi
kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit
pemerintah non pusat (sub-national government). Desentralisasi
administratif, memiliki tiga bentuk utama yaitu dekonsentrasi, delegasi dan
devolusi, bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan efektif
dan efisien
(iii)
Desentralisasi fiskal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah
untuk menggali berbagai sumber dana, meliputi (Pakpahan, 2006) pembiayaan mandiri, dan pemulihan biaya dalam
pelayanan publik, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak
dan bukan pajak secara lebih tepat, transfer dana ke daerah, utamanya melalui
Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil,
kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah.
B.6 Pertimbangan Utama Pentingnya Desentralisasi
Beberapa
ahli seperti Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996),
Weingast (1995) menyatakan bahwa pelayanan publik paling efisien ketika
diselenggarakan di tingkatan terdekat dengan masyarakat karena (i) pemerintah
lokal sangat memahami kebutuhan masyarakatnya; (ii) pemerintah lokal efisien
dalam penggunaan dana masyarakat; dan (iii) persaingan antardaerah akan
meningkatkan inovasi.
Model
Tiebout (1956) dengan ungkapannya “love
it or leave it” menekankan bahwa pilihan masyarakat akan selalu dilakukan
untuk memenuhi preferensinya dengan mempertimbangkan kualitas pelayanan dan
besaran pajak yang harus dibayar. Ketika preferensi tidak terpenuhi maka
pilihannya adalah pergi atau tetap tinggal dan berusaha merubah kondisi yang
ada melalui DPRD (Hyman, 1993). Model
ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan tercapainya efisiensi ekonomi dalam
penyediaan barang publik pada tingkat lokal sehingga pasar barang publik lokal
bersifat persaingan sempurna (Tresch,
1981; Aronson, 1985; Stiglitz, 1988).
Alasan
teoritis yang paling sering dikemukakan tentang pentingnya desentralisasi
adalah untuk mempertahankan efisiensi alokasi ketika berhadapan dengan beragam
preferensi terhadap barang publik lokal (Musgrave,
1983; Oates, 1972; Tiebout, 1956). Masalah timbul berkaitan dengan
koordinasi, yang pada dasarnya mahal (Breton
dan Scott, 1978) ketika limpahan antardaerah menjadi penting, termasuk
stabilisasi dan distribusi (Tresch, 1978)
(Litvak, 1998).
Walaupun demikian, masih banyak
ketidaksepakatan, baik teoritis maupun empiris, tentang desentralisasi dan
pertumbuhan ekonomi (Martinez-Vazquez dan
McNab, 1997; Zhang dan Zou, 1998), termasuk juga efektifitas distribusi.
Beberapa analis menyatakan bahwa pemerintah lokal mencapai tujuan lebih efektif
dibanding pusat (Pauly, 1973),
sementara lainnya menyatakan bahwa distribusi oleh pusat dibutuhkan untuk
keefektifan (Musgrave, 1983) dan
menghadapi bias oleh elite lokal (Wilensky,
1974; Inman dan Rubienfield, 1997). Selain itu, pandangan lain menjelaskan
bahwa sebaik apapun usaha pemerintah lokal dalam konteks distribusi, maka
mereka akan dihadang oleh mobilitas sumber daya dan keterbukaan ekonomi lokal (Buchanan dan Wagner, 1971).
Sementara alasan ekonomi
desentralisasi adalah untuk memperbaiki kemampuan bersaing pemerintah yaitu
pemerintah lokal berusaha memenuhi keinginan masyarakat (Breton, 1996; Salmon, 1987). Hanya terdapat sedikit bukti empiris
terhadap ide ini.
Melalui desentralisasi, kesejahteraan masyarakat di daerah akan
lebih cepat terwujud karena pemerintah daerah akan lebih fleksibel bertindak
dalam respons perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah.
Desentralisasi juga lebih melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan
keputusan ketimbang menunggu keputusan dari pemerintah pusat sehingga kehidupan
demokrasi lebih terwujud, lebih memberi ruang untuk berkreasi dan berinovasi,
dan menghasilkan semangat kerja, komitmen dan produktivitas yang lebih tinggi (Osborne dan Gaebler, 1993; Pollit, Birchall
dan Putman, 1998). Selain itu,
preferensi penduduk lebih terakomodasikan (Oates
1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999), tingkat akuntabilitas ditingkat
lokal akan menjadi lebih baik karena lebih mudah mempertanggungjawabkan kinerja
pemerintah daerah terhadap dewan perwakilan setempat (Peterson,
1997), manajemen fiskal menjadi lebih baik (Meinzen-Dick, Knox and Gregorio 1999), dan tingkat pertumbuhan
ekonomi dan jaminan pasar akan menjadi lebih baik (Wibbels 2000). Pendek kata, cukup banyak literatur sangat optimis
bahwa tingkat efisiensi menjadi lebih baik, tingkat korupsi juga akan berkurang
(Fisman, dkk. 2002), dan akan terjadi
peningkatan demokratisasi dan partisipasi (Crook
and Manor 1998).
B.7 Pembelajaran Penerapan Desentralisasi
di Mancanegara
Desentralisasi dapat berdampak pada
mobilisasi sumber daya, stabilitas ekonomi makro, penyediaan layanan, dan
kesetaraan (equity). Potensi
ketidakstabilan ekonomi makro oleh desentralisasi menjadi perhatian (Prud’homme, 1995; Tanzi, 1996;
Ter-Minassian, 1997). Pada negara yang telah terdesentralisasi, menjadi
suatu hal yang biasa ketika terjadi kaitan antara desentralisasi dan
ketidakseimbangan fiskal di tingkat lokal (Wallich,
1994). Setidaknya tiga studi Bank Dunia membuktikan hal ini.
Desentralisasi
dapat mempengaruhi kesetaraan (equity)
penduduk (interpersonal) melalui
kebijakan pembiayaan publik, pajak, dan desain transfer antarpemerintah. Jika
kebijakan pembiayaan publik mengarah pada penyediaan layanan pada penduduk
kaya, beban pajak lebih besar pada penduduk miskin, dan desain transfer
mengabaikan penduduk miskin maka kesetaraan akan terganggu (Litvak, 1998). Sementara desentralisasi
dapat mempengaruhi kestabilan ekonomi makro, ketika terjadi defisit pada
anggaran pemerintah lokal.
Tidak hanya itu saja, menurut Utomo
(2010), berdasar pembelajaran pelaksanaan desentralisasi di seluruh dunia,
dampak lainnya dapat berupa pencegahan dan pemberantasan korupsi (Arikan 2004; Fjeldstad 2004; Fisman 2002),
pengurangan kemiskinan (Braathen 2008;
Crook 2001; UNDP 2000; Moore dan Putzel 1999), peningkatan kualitas
pelayanan (World Bank 2001;
Kolehmainen-Aitken 1999; McLean 1999, Dillinger 1994), memperkuat
akuntabilitas (World Bank, 2000),
resolusi konflik (Sasaoka 2007),
ataupun pemberdayaan masyarakat (Brinkerhoff
2006). Namun, dampak negatif desentralisasi juga
terpantau berupa
kesenjangan wilayah, memunculkan egoisme kedaerahan dan klientilisme, atau
menggelembungkan struktur birokrasi (Cornelius
1999; Fox and Aranda 1996; Rodden 2000; Rodden and Wibbels 2002; Stein 1998,
dikutip dari Falleti 2004). Kajian Treisman (2000), Oyono (2004)
mengungkapkan hal seperti kinerja pemerintah daerah tidak meningkat, partisipasi
dan demokratisasi juga tidak membaik. Justru meningkatkan kesempatan untuk ‘rent-seeking’ dan korupsi.Dengan
demikian, desentralisasi memiliki dua
wajah, positif dan negatif.
Dua wajah desentralisasi juga diungkapkan oleh Burki,
Perry dan Dillinger (1999). Dari sisi kemanfaatan, desentralisasi dapat lebih
tepat meningkatkan efisiensi dan daya tanggap pemerintah melalui pemenuhan
layanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi rakyat. Selain itu, desentralisasi
dapat membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antarpemerintah daerah untuk
mencapai kepuasan masyarakat yang lebih tinggi. Namun disisi lain, kualitas
pelayanan publik sering menjadi korban karena transfer kewenangan sering
disalahartikan atau disalahgunakan oleh elite lokal yang relatif kurang
memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar